PENDAHULUAN
Kebijakan moneter dapat mempengaruhi output
dalam jangka pendek, sedangkan dalam jangka panjang hanya mempengaruhi tingkat
harga. Namun, pengaruh kebijakan moneter terhadap perekonomian secara
keseluruhan tetap tidak pasti akibat
lama dan panjangnya proses terkait. Konsensus yang sedang berkembang
menyebutkan bahwa kebijakan moneter memiliki keunggulan komperatif dalam
mempertahankan stabilitas harga dalam jangka panjang. Oleh sebab itu, otoritas
moneter seharusnya menggunakan kebijakan moneter untuk menjaga kestabilitasan
harga saja, dari pada memakainya untuk mengutak-atik perekonomian.
Mekanisme transmisi kebijakan moneter
menunjukkan bahwa untuk berfungsi sebagaimana yang diharapkan, kebijakan
moneter memerlukan saluran-saluran tertentu, dan melalui saluran itu pula
kebijakan moneter memberikan dampak terhadap perekonomian dalam jangka pendek.
Karena kebijakan moneter dipandang sebagai kebijakan menajemen sisi permintaan,
maka pemberlakuan kebijakan moneter diharapkan langsung memberikan pengaruh
terhadap permintaan agregat lewat berbagai macam komponennya pemberlakuan
kebijakan ini bisa bersifat tidak langsung tergantung pada instrumen yang digunakan.
Masalah pokoknya masih berkisar pada apakah ekonomi moneter harus menjalankan
kebijakan moneter secara aktif demi menciptakan stabilitas harga dalam jangka
menengah dan panjang, sekaligus memelihara pertumbuhan ekonomi dan/atau
stabilitas ekonomi. Pemahaman mengenai mekanisme transmisi kebijakan moneter
pun perlu diperoleh bagi kesuksesan penerapan kebijakan moneter itu sendiri
dalam mempengaruhi permintaan agregat (dan mungkin juga penawaran agregat),
demi tercapainya tujuan pokoknya, yakni stabilitas harga dalam jangka menengah
atau sepanjang siklus bisni.
Ketika bank sentral menjalankan kebijakan
moneter, mereka melakukan serangkaian pengaturan atau penyesuaian ekonomi yang
bekerja di pasar barang maupun pasar aset. Penerapan kebijakan moneter mempengaruhi
pembelanjaan, output, dan penyerapan sumber daya (employment) dalam jangka pendek, yang berujung pada perubahan
tingkat harga dalam jangka menengah dan jangka panjang. Kepustakaan awal
tentang kebijakan moneter berfokus pada dua pendekatan,, yakni mekanisme
transmisi aliran klasik dan aliran keynesian. Kepustakaan ini secara umum
menunjukkan bahwa suku bunga dan pola pengelolaan kekayaan pribadi merupakan
saluran utama yang dilalui kebijakan moneter dalam memberikan pengaruhnya
terhadap perekonomian. Kepustakaan moderen menunjukkan adanya saluran-saluran
lain yang dilalui kebijakan moneter dalam memengaruhi perekonomian dalam
konteks perekonomian terbuka.
Kebijakan moneter seperti apa yang seharusnya
dijalankan bank sentral tergantung dari kerangka kebijakan moneter yang
dianutnya, kondisi perekonomian pada umumnya dan kondisi dasar sistem
keuangannya. Sampai baru-baru ini, sistem keuangan dikebanyakan negara
berkembang masih tertekan (tidak bebas),
sehingga mekanisme transmisi kebijakan moneternya bersifat
langsung. Dalam sistem keuangan yang
tertekan, bank sentral langsung mengendalikan
kredit perbankan swasta, menetapkan suku bunga dan kurs, serta terlibat
dalam pengaturan pengucuran kredit ke sektor-sektor prioritas untuk
mempromosikan investasi pertumbuhan ekonomi nasional. Pelonggaran kontrol atas
kredit, suku bunga dan kurs yang belakangan ini dilakukan telah membawa
perubahan struktural terhadap perekonomian. Sedangkan dalam perekonomian ysng
telah terderegulasi, pemberlakuan kebijakan moneter mempengaruhi perekonomian
melalui beberapa saluran. Karenanya, dinamika penyesuaian ekonomi dalam jangka
pendek dan panjang bisa acak, tergantung dari apakah kejutan yang hendak
diatasi bersifat nominal ataukah rill, serta apakah kejutan itu hanya sesaat
ataukah permanen.
Dalam sistem finansial yang telah
terderegulasi, penerapan kebijakan moneter ditunjukkan untuk memengaruhi
berbagai komponen perminataan agregat melalui mekanisme harga. Investasi dalam
negri dan ekspor neto (total ekspor dikurangi impor) adalah komponen kunci
permintaan agregat yang acapkali dijadikan target. Di negara-negara yang pasar
uang dan pasar modalnya telah berkembang dengan baik, perubahan suku bunga
jangka pendek langsung memengaruhi keseluruhan struktur suku bunga (kurva gabungan)
dan kurs. Bila ada kekakuan harga dan upah jangka pendek, maka perubahan apapun
atas suku bunga nominal akan segera menjelma menjadi perubahan suku bunga rill.
Oleh sebab itu, dalam jangka pendek, perubahan suku bunga nominal memiliki
pengaruh yang dapat ditebak terhadap permintaan agregat dan output melalui
investasi dan ekspor neto. Kebijakan moneter yang ampuh memciptakan perubahan
rill tersebut, mungkin tidak dapat bekerja di negara-negara berkembang yang
sangat inflasionet (tingkat inlasinya tinggi).
Salah-salah, penerapan kebijakan moneter justru bisa memicu reaksi berantai
yang pada akhirnya memunculkan kekalutan kebijakan dan perkiraan inflasi yang
kelewatan tinggi sehingga memperburuk inflasi yang ada dengan cepat, tanpa
membuat manfaat berarti pada output, meskipun dalam jangka pendek. Jadil,
alih-alih bisa meningkatkan output atau penerapan sumber daya, kebijakan
moneter itu justru bisa mamacu inflasi dan menstabilkan moneter dilingkungan
ekonomi yang sangat inlasioner.
BAB II
ISI
A. Mekanisme Transmisi Klasik VS Keynesian
Mekanisme Transmisi Klasik
Dalam ilmu
ekonomi klasik, hubungan antara uang dan output bersiat langsung, dan rumusnya
diturunkan dari Persamaan Pertukaran :
MV = Py (8.1)
Dimana :
M : stok uang,
V
: velositas atau kecepatanperedaran uang,
P :tingkat harga, dan
y : pendapatan rill
persamaan ini
dapat dinyatakan sebagai teori pendapatan minimal dimana Py ditentukan oleh tingkat stok uang, sehingga :
M = θ Py (θ = 1/V) (8.2)
Dimana :
Θ
: kebalikan dari velositas uang, yang
diasumsikan dapat diprediksi, namun tidak selalu konstan.
Rumusan netralitas moneter ini berlaku
dalam jangka panjang. Karenanya, kenaikan penawaran uang secara eksogen menaikkan
tingkat pendapatan nominal Y(=Py).
Dalam jangka pendek, ekspansi moneter
akan memperbesar pembelanjaan dan output, namun dalam jangka panjang hal itu
hanya akan terjadi jika tingkat harga juga naik. Secara skematis, mekanisme
transmisi kebijakan moneter adalah sebagai berikut :
∆M/M → ∆AE/AE → ∆Y/Y ≈ ∆P/P 1
∆y/y ≈ ∆y/y (jadi, ∆P/P ≈ 0 dalam
jangka pendek) (8.3)
∆M/M → ∆AE/AE → ∆Y/Y ≈ ∆P/P 1
∆y/y ≈ ∆P/P (jadi, ∆y/y ≈ 0 dalam
Jangka panjang) (8.4)
Dimana :
∆M/M : tingkat
pertumbuhan penawaran uang secara nominal
∆AE/AE : melambangkan tingkat
pertumbuhan pembelanjaan nominal
∆Y/Y : tingkat pertumbuhan pendapatan nominal
∆P/P : merupakan
tingkat pertumbuhan tingkat harga
∆y/y : tingkat
pertumbuhan pendapatan rill
Dalam model pembentukan tingkat
pendapatan klasik diatas, asusmsi terpentingnya adalah bahwa Velositas uang itu
bersiat konstan atau bisa diprediksi. Ketika kenaikan penawaran uang membawa
perubahan terbalik namun senilai atas velositas uang, maka pengaruhnya akan di
transmisikan ke tingkat harga atau output. Setiap ekspansi moneter akan di
imbangi sepenuhnya oleh perubahan velositas uang, tanpa mengubah output atau
tingkat harga. Karena itu arah dan besaran pergerakan velositas uang mengandung
implikasi penting terhadap keandalan dan efektivitas kebijakan moneter dalam
mengubah output dan atau tingkat harga. Jika
velositas uang konstan, maka stok uang akan sebanding dengan tingkat
output nominal. Implikasinya adalah bahwa kebijakan moneter dapat digunakan untuk
menargetkan pendapatan nominal, terlepas dari lingkungan kurva penawaran yang
ada. Peran permintaan uang dalam mekanisme transmisi sangat penting berdasarkan
fakta bahwa kekonstanan velositas uang mensyaratkan bahwa permintaan saldo rill
terutama dan selalu di tentukan oleh pendapatan rill yang tidak sensitif
terhadap suku bunga nominal. Ini pula
syarat yang memungkinkan pendapatan rill dan suku bunga terbebas dari kaitan
dengan penawaran uang. Fungsi permintaan uang yang stabil akan berarti adanya ungsi
velositas uang yang stabil pula. Artinya, velositas merupakan sebuah fungsi
konstan (sebuah konstanta) dan bukan berupa angka sehingga velositas uang bisa
berafriasi secara sistematis dan mudah diprediksi reaksinya terhadap
variabel-variabel lainnya dalam fungsi yang dimaksud. Implikasi selanjutnya
adalah tingkat pertumbuhan penawaran uang pun menjadi faktor penentu utama
inflasi dalam jangka panjang. Selama bank sentral memiliki kendali terhadap
penawaran uang, maka inflasipun menjadi target kebijakan dan tanggung jawab
bank sentral. Adapun pandangan menurut kaum klasik (Goodfriend 1997 : 9) :
”Teori permintaan
uang mengisyaratkan bahwa kontrol terhadap penawaran uang itu perlu dan memadai
untung mengendalikan inflasi . . . permintaan uang bisa dipandang sebagai
sasaran yang harus dicapai bank sentral dalam memerangi inflasi, sedangkan
penawaran uang bisa dipandang sebagai basis pijakannya”.
Mekanisme
Transmisi Keynesian
Gagasan yang menyatakan bahwa uang
merupakan alternatif dari obligasi merupakan intisari teori moneter keynesian. Menurut keynes, uang diminta untuk keperluan
transaksi maupun spekulasi. Permintaan uang untuk spekulasi sangat sensitif
terhadap perkiraan akan naik-turunnya harga obligasi. Sebagai contoh, kalau
harga-harga obligasi rendah (sedangkan suku bunga tinggi), maka khalayak akan
menyimpan lebih banyak obligasi dan menyimpan lebih sedikit uang tunai.
Demikian pula sebaliknya, jika harga obligasi tinggi (dan suku bunga rendah),
maka masyarakat akan memiliki lebih sedikit obligasi dan lebih banyak uang
tunai. Kebijakan moneter memengaruhi seluruh perekonomian melalui saluran suku
bunga. Sebagai contoh, kalau penawaran uang
meningkat, maka masyarakat akan tendorong menggunakan kelebihan uang tunainya
dengan membeli aset-aset lain, misalnya obligasi. Itu berarti kebijakan moneter
tadi telah meningkatkan permintaan terhadap obligasi, dan pada gilirannya hal
ini akan menaikkan harga obligasi (dengan asumsi penawaran obligasinya tetap
sama seperti sebelumnya). Dampak selanjutnya, suku bunga akan turun, dan hal
ini akan meningkatkan investasi, dan
selanjutnya akan meningkatkan pula output perekonomian yang bersangkutan.
Secara sistematik, mekanisme transmisi keynesian adalah sebagai berikut :
∆M/M → ∆r → ∆I → ∆Y/Y ≈ ∆P/P + ∆y/y ≈
∆y/y (given ∆P/P ≈ 0) (8.5)
Dimana :
r : suku bunga rill
I : investasi
Jadi dalam model keynesian, penawaran
uang mempengaruhi output melalui
dampaknya terhadap suku bunga. Hanya saja dalam praktiknya, dampak kebijakan
moneter terhadap output tidak bisa dipastikan. Dampak itu di tentukan oleh
sejumlah aktor seperti pengaruh
kelebihan penawaran uang terhadap suku bunga,
kepekaan investasi terhadap pergerakan suku bunga, serta efek
penggandaan kegiatan pembelanjaan. Jika
suku bunga yang berlaku sangat rendah dan permintaan uang ternyata permintaan
uang bersumber dari penggunaan kelebihan uang tunai oleh masyarakat untuk
tuuan-tujuan spekulasi (misalnya, mereka membeli obligasi yang harganya
diperkirakan akan segera turun), maka kenaikan penawaran uang tidak akan
berdampak terhadap suku bunga. Kondisinya yang ekstrem dikenal dengan sebutan
“jebakan likuiditas” (likuidity trap).
Dalam kondisi normal, permintaan uang sedikit-banyak akan sensitif terhadap
suku bunga (mudah berubah sesuai dengan pergerakan suku bunga), namun hal itu
takkan menghilangkan sama sekali peran kebijakan moneter dalam mengubah output
dan/atau harga dalam jangka pendek. Berkenaan dengan hal ini, Friedman (1969a :
155) menegaskan :
“Kita
perlu mencoba menentukan seakurat mungkin karakteristik- karakteristik
permintaan uang, termaksud elastisitas permintaan itu terhadap suku bunga. Namun dalam hemat saya, tidak ada ‘personal
fundamental’ dalam teori moneter maupun kebijakan moneter yang mengharuskan kita
untuk menetapkan elastisitas sekitar nol atau sebaliknya -0,1 -0,5 ataukah -2,0
karena kita sulit mendapatkan angka berapapun dari -∞ ”.
Kita perlu memiliki fungsi permintaan
uang yang stabil untuk menakar apakah perubahan penawaran uang memberi pengaruh
terhadap inflasi, output, dan neraca pembayaran. Termaksud yang kita perlukan
adalah cara yang pasti untuk mengukur bagaimana kelebihan uang tunai
memengaruhi permintaan agregat melalui dampak suku bunga terhadap investasi dan
dampak saldo rill terhadap pembelanjaan. Hal ini pada gilirannya akanmenemukan
struktur finansial, khususnya kelengkapan struktur dan keluasan jangkauan pasar uang, serta
fleksibilitas suku bunga. Dalam perekonomian yang sektor finansialnya masih
tertekan (suku bunganya bisa di terapkan melalui peraturan, bukannya lewat
mekanisme pasar) dan kredit masih dibagi dengan cara penjatahan, dan keduanya
menjadi elemen yang penting kebijakan moneter, ketersediaan kredit akan
berdampak langsung terhadap belanja dan output.
B. Represi Finansial dan Kebijakan Moneter
Dalam sistem keuangan yang masih tertekan, kontrol moneternya
bersiat langsung. Otoritas moneter sekedar menambah penawaran uang begitu saja
dengan harapan hal itu dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Akibat sampingan
berupa tekanan terhadap tingkat harga dan neraca pembayaran dicoba-mentahkan
dengan metode langsung seperti kontrol
kredit, pemberlakuan aturan syarat cadangan minimum, dan berbagai pembatasan
administratif terhadap suku bunga dan kurs. Masalahnya aneka kontrol langsung
ini tidak selalu efektif akibat inkonsistensi antara kebijakan-kebijakan fiskal
dan moneter/kurs dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai.
Pertama-tama, proses penawaran uang menjadi endogen dibawah sistem
kurs baku. Hal ini disebabkan oleh kaitan langsung antara basis moneter, defisit
anggaran pemerintah, dan perkembangan pada neraca pembayaran. Keterkaitan
antara penawaran uang dan perkembangan neraca pembayaran itu sendiri merupakan
dampakn dari kebijakan pembakuan kurs. Jika pasar modal dan pasar uang belum
berkembang dengan baik, maka pemerintah harusmembiayai defisit anggarannya
dengan meminta pinjaman dari bank sentral. Disinal simpul keterkaitan antara
kebijakan fiskal dan kebijakan moneter.
Pembatasan suku bunga merupakan karakter khas berikutnya dari represi financial. Adanya pembakuan kurs
dan pembatasan suku bunga memperlihatkan bahwa otoritas moneter di negara yang
bersangkutan menganut kebijakan penargetan suku bunga yang menyebabkan agregat
moneter bersifat endogen, sebagaimana dibentuk oleh permintaan uang. Kalau ada
pembatasan suku bunga maka permintaan atas dana-dana pinjaman/ kredit biasanya
akan terimbangi sepenuhnya oleh penawaran dana-dana kredit yang tersedia.
Penjatahan kredit (kredit rationing)
pun menjadi elemen penting dalam kebijakan moneternya. Penjatahan kredit bisa
dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Kontrol kredit tidak langsung
misalnya berupa himbauan persuasi atau peningkatan rasio cadangan wajib. Jika
syarat cadangan wajibnya meningkat, maka kemampuan perbankan dalam menyediakan
kredit sendirinya akan turun. Bank-bank sentral juga dapat menggunakan
fasilitas-fasilitas rediskonto (rediscount
afcilities) guna membatasi penciptaan kredit. Sedangkan kontrol langsung bisa berupa
penerapan aturan yang secara tegas membatasi jumlah kredit perbankan bagi
sektor swasta. Secara umum, di bawah aturan seperti ini, kredit ke sektror
swasta baru diberikan jika kebutuhan
pembiayaan pemerintah telah terpenuhi.
Wujud represi inancial yang lebih sering dilakukan dari pada
kontrol kredit adalah kontrol kurs (exchange
control). Pengalihan langsung terhadap arus-arus permodalan akan
meningkatkan efektvitas kebijakan moneter, jika sistem kursnya baku/tetap.
Namun tujuan seketika/jangka pendek dari kontrol seperti itu adalah mengurangi
tekanan terhadap cadangan devisa.
C. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Dalam Perekonomian Tertekan
Montiel
(1991) mengembangkan model penunjang guna menelaah dampak kebijakan moneter
terhadap permintaan agregat dalam perekonomian yang secara finansial tertekan (mengalami
represi finansial). Secara lebih spesifik, ia menelaah dampak yang ditimbulkan
empat instrument kebijakan monete, yaitu:
1.
Suku
bunga perbankan yang dikendalikan pemerintah.
2.
Rasio
cadangan wajib.
3.
Jumlah
kredit yang disediakan bank sentral untuk perbankan komersial.
4.
Intervensi
otoritas moneter terhadap pasar-pasar valuta asing. Ia menunjukan bahwa setiap
perubahan pada masing-masing instrumen itu menimbulkan tiga dampak, yaitu:
1.
Dampak
suku bunga ( interest rate effect ).
2.
Dampak
kekayaan rumah tangga ( household wealth effect ).
3.
Dampak
fiscal pemerintah ( gofernment fiscal effect ).
Dampak
suku bunga bertolak dari fakta bahwa represi finansial secara implisit
menghadirkan sistem perpajakan dan subsidi bagi rumah tangga, baik sebagai
kreditur maupun dibitur dalam sistem perbankan. Nilai sekarang (present value)
pajak dan subsidi itu berubah kalau instrument-instrumen kebijakan moneter tadi
memengaruhi tingkat efektif represi finansial, baik melalui perubahan tingkat
panjang yang dikenakannya terhadap komposisinya sendiri dan yang selanjutnya
mengubah basis pengenaan pajaknya. Sebagai contoh, kalau suku bunga tidak
dimungkinkan untuk merubah guna menyesuaikan diri terhadap inflasi, para
pemilik uang akan kehilangan sebagian daya belinya, sama seperti kalu mereka
membayar pajak. Dalam waktu bersama, kalau rumah tangga labih menyimpan lebih
banyak uang tunai dalam rangka mempertahankan nilai riil (daya beli) dari total
uang yang dipegannya, maka hal itu mengubah basis pajak (dasar perhitungan
pajak, yakni total uang/aset yang dimilikinya). Karena itu, kenaikan suku bunga
yang diatur pemerintah menunjukan tingkat efektif represi finansial dan
menaikkan kekayaan neto rumah tangga.
Sedangkan
dampak fiskal bertumpuh pada fakta bahwa laba bank sentral merupakan sumber
pendapatan bagi pemerintah. Perubahan pada instumen kebijakan moneterpun
memengaruhi laba neto bank sentral. Sebagai contoh, kalau suku bunga yang
diatur pemerintah dinaikkan, maka laba bank sentral (dan sekaligus pendapatan
“senioritas” seigniorage pemerintah) juga meningkatkan karena bank sentral
biasanya tidak memberi imbalan bunga bagi cadangan wajib deposito perbankan komersial.
Dampak
Kebijakan Moneter terhadap Pemerintah Agregat dalam Sebuah Perekonomian yang
Sektor Finansialnya Tertekan:
Instrumen Kebijakan
Moneter
|
Dampak Suku Bunga
|
Dampak Kekayaan
|
Dampak Fiskal
|
Dampak Total
|
Kebiajan perbankan
|
Positif
|
Positif
|
Positif
|
Positif
|
Rasio cadangan wajib
|
Negatif
|
Negatif
|
Positif
|
Tidak Pasti
|
Penetapan suku bunga
|
Tidak Pasti
|
Positif
|
Positif
|
Tidak Pasti
|
Sumber:
Kompilasi penulis berdasarkan telaah Montiel ( 1991 )
Tabel
diatas menyajikan rangkuman dampak-dampak perubahan keempat instrumen kebijakan
moneter diatas terhadap permintaan agregat. Peran kredit perbankan sebagai
instrument manajemen permintaan cukup jelas wujudnya, namun tidak jelas
sifatnya. Dampak model Montiel, kenaikan kredit bank menunjukan pemerintah
pinjaman di pasar terselubung ( pasar keuangan informasi ), sehingga suku bunga
dipasar inipun turun. Ketika penurunan suku bunga itu terjadi, maka tingkatan
efektif represi finansialpun berkurang dan selanjutnya memperbesar kekayaan
pribadi rumah tangga. Kenaikkan tingkat kredit bank bisa meningkat permintaan
agregat atas dasar tiga alasan:
1.
Penurunan
suku bunga memperbesar belanja investasi.
2.
Dampak
kekayaan memperbesar belanja konsumsi
3.
Penawaran
kredit perbankan komersial akan meningkatkan laba bank sentral yang selanjutnya
akan serahkan ke pemerintah untuk di belanjakan berbagai barang dan jasa
domestik.
Namun,
meskipun dampak neto kredit bank terhadap permintaan agregat tidak sepenuhnya
dapat di pastikan, kenaikan permintaan itu pada akhirnya akan mendongkrak
inflasi kalau kredit bank itu tidak menimbulkan dampak penawaran ( supply
effect ). Namun ada beberapa alasan untuk memercayai bahwa kenaikan kredit bank
cenderung menaikkan output di Negara-negara berkembang (Hossain, 1995 ):
1.
Pada
umumnya, Negara berkembang belum mampu sepenuhnya mendayagunakan stok modalnya.
Kenaikan permintaan akan memperbesar kapasitas pendayagunaan itu.
2.
Kalau
peluang proyek yang menguntungkan bertambah banyak, maka kredit pun akan
meningkat sehingga investasi serta kapasitas produksi perekonomian juga akan
bertambah.
3.
Sebagaimana
dikemukakan oleh Fry ( 1998 ), dalam perekonomian yang mengalami represi
finansial, folume riil kredit bank yang penawarannya terkendala itu cenderung
membatasi penyediaan dana untuk modal kerja, sehingga membatasi pula output.
Karena, itu kenaikan penyediaan kredit akan memperbesar jumlah modal kerja dan
memperlancar proses produksi, paling tidak lama jangka pendek.
Dampak
Kenaikan Suku Bunga yang dikendalikan pemerintah terhadap permintaan agregat
dan output juga sulit dipastikan. Para pedukung hipotesis McKinnoon-Shau
berkeyakinan bahwa peningkatan suku bunga akan memperbesar jumlah tabungan,
yang pada gelirannya akan memperbesar pula tingkat penawaran dana-dana pinjaman
sehingga selanjutnya akan memperbesar investasi swasta. Sebagai contoh,
penerapan kebijakan moneter anti-inflasi dalam perekonomian yang sektor
finansialnya tertekan memunculkan observasi seperti yang dikemukakan Kapur (
1976: 778-9 ) berikut ini :
“Otorita moneter harus mengambil tindakan awal peningkatan suku bunga
minimal deposito bagi semua simpanan uang sehingga menurunkan kelebihan
penawaran uang melalui peningkatan permintaan terhadap saldo riil. Begitu saldo
uang meningkat. Meningkat pula arus kredit riil perbankan, yang akan disusun
oleh kenaikkan output riil”.
Dipihak
lain, para ekonom neo-strukturalis lebih menekankan pada pentingnya pasar-pasar
kredit informal dalam penyediaan modal kerja bagi berbagai perusahaan untuk membeli
aneka input variabelnya (tenaga kerja, barang semi-jadi impor, dan sebagainya).
Itu berarti biaya kredit merupakan elemen penting dari total biaya variable
produksi; perubahan suku bunga akan menyebabkan bergesernya penawaran agregat
output riil. Kaum neo stukturalis juga menengkankan kemungkinan behwa kenaikan
suku bunga perbankan akan menarik dana-dana dari pasar informal sehingga
meningkatkan biaya marginal dana, yang pada gilirannya akan menimbulkan dampak
kontraksioner terhadap permintaan dan output. Wijnbergen (1982; 1985) mengambil
bukti dari kasus korea selatan guna mendukung klaim tersebut. Berdasarkan studi
kasus Filipina, Burkner (1982) juga menyimpulkan bahwa kalau semua kepemilikan
asset tidak berubah, maka perubahan deposito perbankan formal dan dana-dana di
pasar informal akan saling mengimbangi. Kaum neo-strukturalis lebih jauh juga
menyatakan bahwa fenomena itu akan menurunkan keseluruhan penawaran kredit. Hal
ini di karenakan perbankan tetap wajib menyimpan sebagian dana depositonya ke
bank sentral sementara pasar informal tidak, sehingga jumlah total kredit baru
yang dikucurkan perbankan akan lebih sedikit ketimbang penyaluran kredit baru
di sektor informal. Namun pandangan ini berbekal asumsi bahwa permintaan kredit
relatif tidak elastis terhadap suku bunga (tak terlalu sensitive terhadap perubahan
suku bunga). Kapur (1992), sebaliknya menyatakan bahwa total kredit produktif
belum tentu turun. Ia mendasarkan pendapatannya atas dasar pertimbangan bahwa
pemerintah yang menerima “rezeki nomplok” dari “senioritas”-nya, akan ikut
mengupayakan kenaikan basis moneter yang akan tercipta kalau jumlah deposito
bertambah. Pemerintah selanjutnya dapat menyalurkan basis moneter tambahan itu
untuk membiayai pembangunan atau menambah dukungan dana bagi bank-bank
komersial itu sendiri.
Dampak
kenaikan rasio cadangan wajib terhadap permintaan agregat juga tidak mudah di
pastikan. Dampak suku bunga yang bersifat langsung akan negatif. Mengingat
kenaikan rasio cadangan wajib akan menaikkan tingkatan efektif represi
finansial, maka hal itu akan menurunkan tingkat permintaan agregat melalui
dampak kekayaan. Sebaliknya, kenaikan rasio cadanga wajib akan memperbesar
pendapatan pemerintah berkat bertambahnya lama bank sentral.
Kesimpulannya,
meskipun ketersediaan kredit cenderung menimbulkan dampak yang bersifat
langsung terhadap tingkat permintaan agregat, namun kepastian hubungannya
sendiri masih sulit untuk dibuktikan dan sejauh ini belum ada kesepakatan
pendapat di kalangan para ekonom mengenai dampak instrument-instrumen lainnya
dari kebijakan moneter dalam perekonomian yang sektor keuangannya masih penuh
batasan atau tekanan.
D. Mekanisme Transmisi Umum Kebijakan Moneter
Sejalan dengan kian pentingnya kebijakan moneter, para ekonom pun
mulai mempelajari berbagai macam saluran pengaruh kebijakan itu terhadap
perekonomian secara keseluruhan. Ada dua kerangka konseptual bagi analisis
mekanisme transmisi kebijakan moneter, yaitu: kerangka uang dan kerangka
kredit. Keduanya ternyata dapat saling mendukung dan merupakan fokus dalam
berbagai penelitian dewasa ini.
Pandangan yang bertumpu pada saluran uang (moneter) mewakili
pendakatan tradisional tentang mekanisme transmisi kebijakan moneter. Asumsinya
adalah pasar-pasar finansial itu bersifat homogen dan sempurnya. Gangguan
moneter hanya akan berpengaruh kalau ada kekakuan nominal dalam harga dan upah.
Namun begitu kita mengakui ketidaksempurnaan pasar finansial, maka inilah yang telah mengembangkan pandanga yang
tumpuh pada kredit. Meskipun pandangan pandanga yang bertumpuh pada uang dan
kredit sama-sama menyoroti berbagai variabel dari mekanisme transmisi itu,
namun pandangan yang bertumpuh pada kredit lebih menekankan arti penting arti
penting peran peminjam perbankan dan struktur finansial perusahaan yang dalam
praktiknya akan menjadi pelaku transmisi perusahaan yang dalam praktiknya akan
menjadi pelaku transmisi pengaruh kebijakan moneter. Ketidaksempurnaan pasar
dan ketimpangan informasi di pasar-pasar finansial memunculkan saluran-saluran
pengaruh baru yang menjadi wahana kebijakan moneter menimbulkan dampaknya.
Saluran-saluran baru itu mengikuti kurs, harga-harga aset dan perkiraan harga.
Kekuatan relatif dari masing-masing saluran ini berlainan dari tiap
perekonomian, dan berbeda pula di tiap rezin pengaturan kurs maupun struktur
kelembagaan dari pasar finansialnya sendiri (Warjiyo dan Agung, 2002).
Sejak akhir 1980-an para ekonom sibuk meneliti mekanisme transmisi
kebijakan moneter dari sisi aktiva neraca keuangan bank, khususnya pos kredit
bank ke sektor swasta. Kajian tentang proses transmisi dari sisi kredit ini
didasarkan pada gagasan bahwa kredit bank bukan merupakan pengganti (subtitusi)
sempurna bagi bentuk-bentuk peminjam lainnya. Sekurang-kurangnya bagi sejumlah
besar peminjam, pembiayaan di luar kredit bank tidak tersedia. Kalau pun ada,
biayanya jauh lebih mahal. Karena di dasarkan agar peran bank dalam
perekonomian moneter tidak di batasi hanya sebagai perantara antara penabung
dan investor. Bank punya kedudukan menentukan dalam mengatasi ketimpangan
informasi antara penyedia dan penerima dana pinjaman (Mishkin, 2007a).
D.1Tinjauan Mekanisme Transmisi dari Sudut Moneter
Pandangan moneter tentang mekanisme transmisi
kebijakan moneter berfokus pada agregat moneter, di mana suku bunga jangka
pendek mencirminkan kondisi suku bunga jangka pendek ditentukan oleh penawaran
dan permintaan uang. Perubahan-perubahan pada suku bunga jangka pendek
mencerminkan kondisi suku bunga dalam jangka yang lebih panjang melalui
struktur pengaturan pinjaman, yang selanjutnya memengaruhi pula tingkat
pembelanjaan dan output. Dalam kerangka ini, tindakan-tindakan kebijakan
moneter meliputi pula perubahan deposito perbankan melalui pengubahan syarat
cadangan wajib di bank sentral. Karenanya, kebijakan moneternya berfokus pada
sisi pasiva neraca keuangan perbankan komersial maupun bank sentral. Asumsi
penting yang mendasari tinjauan moneter tentang mekanisme transmisi tinjauan
ini adalah uang tidak memiliki pengganti yang sempurna. Karenanya, para pelaku
ekonomi tidak sepenuhnya bisa mengandalkan perubahan komposisi aset finansial
demi melindungi diri dari dampak-dampak yang ditimbulkan oleh suatu kebijakan
moneter teradap suku bunga jangka pendek akan dimungkinkan, dan kadarnya
tergantung pada sejauh mana kadar/tingkatan substitusi uang itu sendiri.
D.2Saluran Suku Bunga
Seperti dikemukakan di atas, suku bunga merupakan saluran
tradisional bagi mekanisme transmisi kebijakan moneter. Bank-bank sentral
mengubah suku bunga berjangka “sangat pendek”melalui operasi-operasi pasar
terbuka. Perubahan-perubahan suku bunga jangka pendek itu kemudian menjalar ke
suku bunga jangka menengah dan panjang. Seperti telah dibahas dalam bab-bab
terdahulu, yang diubah bank sentral adalah suku bunga jangka pendek nominal,
bukan suku bunga riil. Dengan asumsi upah dan harga-harga bersifat kaku (tidak
mudah berubah), maka perubahan suku bunga nominal itu kemudian akan mengubah
suku bunga riil. Selanjutnya, perubahan suku bunga riil akan memengaruhi semua
komponen permintaan agregat.
Arti penting dampak perubahan suku bunga terhadap permintaan
agregat masih menjadi bahan perdebatan. Perhatikanlah bahwa saluran suku bunga,
dari kebijakan moneter berfungsi terutama atas dasar asumsi kekakuan
harga-harga dalam jangka pendek dan tidak adanya perubahan perkiraan inflasi
sehingga perubahan suku bunga nominal jangka pendek akan ditransmisikan ke
berbagai suku bunga (jangka menengah dan panjang, serta ke suku bunga rill).
Karena investasi biasanya melibatkan pembuatan keputusan ekonomi berjangka
panjang, maka patut dipertanyakan apakah keputusan investasi jangka panjang itu
di dasarkan pada perubaha-perubahan suku bunga rill jangka pendek yang muncul
akibat kekakuan harga-harga. Menurut hipotesis perkiraan rasional (rasio
expectation hiypothesis), perkiraan inflasi cenderung berorientsi ke depan
(forward-looking) dan di dasarkan pada informasi yang tersedia mengenai
perkembangan sekarang dan di masa mendatang menyangkut perekonomian secara
keseluruhan, baik di sektor moneter maupun sector riil. Jika perkiraan inflasi
desesuaikan dengan cepat dalam perekonomian yang tingkat inflasinya tinggi, maka
perubahan-perubahan suku bunga nominal takkan menimbulkan perubahan suku bunga
riil, kecuali hanya untuk sementara.
Keputusan moneter muktakhir menyatakan bahwa pasar-pasar finansial
sepenuhnya efisien. Sebagian besar pelaku di pasar finansial dapat memperoleh
dan memnfaatkan informasi dari berbagai sumber. Konsekuensinya, perkoraan
inflasi sama dengan inflasi aktual rata-rata. Oleh sebab itu, persoalannya
adalah investasi seperti apa yang tetap peka terhadap perubahan-perubahan
temporal pada suku bunga riil agar investasi itu dapat disesuaikan dengan
kebijakan moneter yang tak terduga. Investasi jangka panjang tidak bisa banyak
di ubah oleh perusahaan suku bunga nominal. Tingkat belanja rumah tangga atas
berbagai jenis barang tahan lama tampaknya juga tidak terlalu peka terhadap
perubahan-perubahan suku bunga jangka pendek. Kalau suku bunga di tentukan oleh
pasar dan tetap fleksibel, maka rumah tangga takkan memutuskan untuk membeli
barang-barang tahan lama dengan memakai dana pinjaman yang masa jatuh temponya
lebih lama. Itu perubahan-perubahan suku bunga berjangka pendek yang
diakibatkan oleh penerapan kebijakan moneter tidak akan terus berlangsung
sampai pada berakhirnya masa jatuh tempo pelunasan pinjama bagi pembiayaan
bahan tahan lama tersebut.
Singkatnya, proses transmisi kebijakan moneter melalui saluran
suku bunga tidak bersifat langsung. Efektifitasnya tidak pasti dan mungkin
terbatas. Investasi dan konsumsi adalah keputusan berjangka panjang yang
didasarkan pada berbagai faktor seperti profitabilitas, kekayaan, dan risiko.
Perubahan-perubahan suku bunga rill hanya memengaruhi keputusan-keputusan
konsumsi dan penawaran tenaga kerja sehingga hanya mengubah posisi kekayaan
relatif penyedia dan pemakai pinjaman. Penerapan kebijakan moneter biasa membawa
perubahan terhadap suku bunga riil, tetapi hanya dalam jangka pendek, itu pun
kalau harga-harga bersifat kaku dan perkiraan inflasi tidak diubah dengan cepat
sebagai penyesuaian terhadap keterbatasan atau kesalahan informasi di pihak
rumah tangga dan infestor.
Dalam kondisi pasar-pasar finansial yang efisian dan
terderegulasi, sulit untuk mebayangkan rumah tangga dan investor tetap
mengabaikan konsekuensi kebijakan moneter tadi sampai-sampai mereka membuat
keputusan konsumsi dan investasi berjangka panjang hanya atas dasar
perubaha-perubahan riil berjangka pendek yang ditimbulkannya. Apa yang paling
penting adalah suku bunga riil; hal ini tidak bisa di buat menjauhi kondisi
ekuilibriumnya dalam waktu lama (Boschen, 1992).
D.3Saluran Kurs
Kurs adalah saluran penting berikutnya bagi
transmisi kebijakan moneter, pada tahun 1960-an , Mundell (1962) merumuskan
bahwa tindakan kebijakan moneter memengaruhi kurs, yang lantas memengaruhi
output dan inflasi. Ia menjelaskan bahwa dengan asumsi adanya mobilitas permodalan
yang sempurna, ada hubunga sederhana antara kurs dan suku bunga jangka pendek.
Perhatikan rumus berikut:
NER/NER (8.6)
Adapun
adalah suku bunga domestik,
melambangkan suku bunga luar negeri, sedangkan
NER/NER adalah
perkiraan tingkat depresiasi mata uang domestik terhadap valuta asing.
Persamaan (8.6) memaparkan kondisi ekuilibrium di pasar valuta asing yang
memunculkan keterkaitan antara suku bunga domestik, suku bunga luar negeri dan
perkiraan perubahan kurs nominal. Setiap perubahan pada masing-masing variabel
ini memengaruhi keseimbangan atau ekuilibrium di pasar valuta asing. Sebagai
contoh kenaikan suku bunga luar negeri akan membuat investasi di negara itu
menjadi lebih menarik ketimbang investasi di dalam negeri sehingga dapat memicu
pelarian modal yang pada gilirannya mendepresiasikan mata uang domestik.
Kenaikan suku bunga domestic akan memunculkan rentetan dampak sebaliknya
terhadap kurs kalau hal itu memicu arus masuk modal.
Keterkaitan antara pertumbuhan penawaran uang dan
kurs dapat di pahami melalui apa yang kini di kenal sebagai pendekatan moneter
terhadap pembentukan kurs (monetary approach to exchange rate parity, PPP).
Berikut ini:
P =
NER *
(
8.7 )
Rumus ini dapat ditulis kembali menjadi:
NER
= P/
(
8.8 )
Persamaan (8.8 ) mengungkapkan hubungan antara kurs
dan tingkat harga domestik. Pesan pokoknya adalah semakin tinggi tingkat harga
domestic ketika di bandingkan dengan harga-harga diluar negeri, maka akan
semakin tinggi pula kurs mata uang domestic terhadap valuta asing, dan kondisi
ini akan bertahan sesuai dengan prinsip paritas pasar uang dalam dan luar
negeri.
Karenanya, kondisi-kondisi di pasar uang domestic
dan luar negeri dapat digunakan untuk mempertautkan harga-harga domestik dan
luar negeri dengan tingkat-tingkat permintaan dan penawaran uangnya. Rumusan
untuk kondisi di pasar uang dalam dan luar negeri adalah sebagai berikut:
M/P = L ( y, i ) (
8.9 )
/
=
( yf,
) (8.10)
Persamaan ( 8.9) dan ( 8.10) mengisyaratkan bahwa:
P = M/L (y, i ) (8.11)
=
( yf,
) (8.12)
Persamaan ( 8.8 ) dapat ditulis kembali menjadi:
NER = ( M/
) .
( … )/L ( … ) (
8.13)
Persamaan ( 8.13 ) mengisyaratkan bahwa, ceteris
paribus ( jika hal-hal lainnya tidak berubah ), kenaikan penawaran uang
domestik akan menimbulkan depresiasi terhadap kurs yang ada. Namun ingan bahwa
kurs riil ( rer ) didefinisikan sebagai berikut:
rer = NER .
/P
(8.14)
Kurs riil memengaruhi arus-arus perdagangan dan
permodalan, yang pada gilirannya memengaruhi output riil. Oleh karena itu, sama
seperti pada saluran suku, persoalan pokoknya adalah bagaimana kurs riil dapat
diubah melalui perubahan kurs nominal. Hal ini lagi-lagi bertumpu pada gagasan
kekakuan harga yang menjadi tumpuan rembetan depresiasi nominal mata uang
domestik ke depresiasi riil. Yang sudah jelas adalah perubahan kurs nominal
dapat mengubah kurs riil untuk sementara, namun kecil kemungkinan depresiasi
seperti itu bias bertahan lama karena harga-harga domestik sendiri cenderung
berubah mengikuti ekspansi moneter yang juga memicu depresiasi kurs nominal.
Arus-arus perdagangan dan permodalan selalu
menyesuaikan diri terhadap pergerakan kurs riil, meskipun ada selang waktunya.
Namun, perubahan kurs riil yang bersifat sementara takkan membawa perubahan
besar besar terhadap arus perdagangan dan permodalan. Kurs riil itu sendiri
ditentukan oleh berbagai faktor , dan perubahan kurs nominal melalui penerapan
kebijakan moneter tidak termasuk di dalamnya ( Edwards, 1989a; 1989b; Hutton,
1992; Neary, 1988 ). Kesimpulannya, meskipun kebijakan moneter bisa memengaruhi
kurs nominal, dampaknya dalam jangka menengah dan panjang terhadap arus-arus
perdagangan dan permodalan, sehingga output tidak akan signifikan.
D.4Kedudukan Harga-Harga Aset Dalam Transmisi Moneter
Sejak akhir 1980-an pergeraka harga aset kian dipentingkan sebagai
tolok ukur dalam mengevaluasi kegiatan ekonomi secara keseluruhan. Penerapan
kebijakan moneter memengaruhi kekayaan dan tingkat hasil melalui pengaruhnya
terhadap harga-harga aset. Harga asset itu sendiri berorientasi kedepan.
Besarnya mencerminkan perkiraan tentang aruspendapatan dimasa mendatang dan
memuat pula informasi mengenai inflasi dan /atau suku bunga.
Teori q Tobin tentang dampak kebijakan moneter terhadap investasi
dan kekayaan menonjolkan keduanya sebagai saluran penting dalam mekanisme
transmisi kebijakan moneter. Menurut teiri q Tobin,ekspansi moneter mengubah
perekonomian melalui dampaknya terhadap harga ekuitas (surat-surat berharga).
Sebagai contoh, kalau nilai q lebih besar dari pada 1 itu berarti harga pasar
dari satu perubahan relatif tinggi jika ditilik dari biaya permodalannya
sehingga perusahaan itu dapat menerbitkan saham baru guna menambah cadangan
modalnya. Jika hal itu dilakukan, maka belanja infestasi akan meningkat karena
perusahaan tersebut membeli lebih banyak peralatan modal lebih banyak ketimbang
saham baru yang diterbitkannya. Sebaliknya, investasi akan turun kalau nilai q
lebih kecil dari pada 1. Ekspansi (kontraksi) moneter dapat memengaruhi
infestasi dan output melalui dampaknya terhadap harga-harga asset (Mishkin,
2007a).
Pergerakan harga aset juga menimbulkan pengaruh kekayaan (wealth
effect) terhadap konsumsi. Kalau bank sendiri menerapkan kebijakan moneter
kontraksioner yang menaikkan suku bunga, maka harga-harga aset akan turun.
Begitu pula sebaliknya, kenaikan penawaran uang (penerapan kebijakan moneter
ekspansioner) akan menurunkan suku bunga dan meningkatkan harga-harga aset.
Modl siklus hidup ando-Modigliani menunjukkan bahwa pembelanjaan konsumsi
ditentukan oleh sumber daya konsumen seumur hidupnya. Ketika harga-harga asset
turun, tungkat kekayaan dan konsumsi akan ikut turun. Studi-studi empiris menunjukkan
bahwa kemerosotan harga-harga aset di jepang (misalnnya saham dan tanah)
memberi dampak negatif terhadap konsumsi, dan hal ini berperan penting bagi
meruyaknya resesi yang berlangsung dinegara itu selama 1990-an (IMF’s World
Economic Outlook, berbagai seri terbutan).
D.5Tinjauan Kredit Dalam Mekanisme Transmisi
Kepustakaan
terbaru tentang kebijakan moneter mengungkapkan bahwa perbankan memainkan peran
krusial dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter. Tinjauan tentang mekanisme
transmisi yang menekankan aspek kredit kini. Kian penting, baik di
Negara-negara berkembang maupun Negara-negara maju. Anda tentu masih ingan
dalam tinjauan yang menekankan aspek uang (moneter), dijelaskan bahwa bank-bank
beroperasi melalui sisi pasiva. Artinya, perbankan memainkan peran penting
dalam menciptakan uang (likuiliditas) malalui pengadaan deposito (pasiva).
Besar kecilnya deposito perbankan akan berubah sesuai dengan strata cadangan
wajib di bank sentral, sementara ketentuan cadanga wajib ini merupakan bagian
dari kebijakan moneter bank sentral. Lebih lanjut, sisi aktiva akan disesuaikan
dengan sisi pasiva. Karenanya, bank sentral dapat memanfaatkan
instrument-instrumen kebijakan moneternya, misalnya pengaturan tingkat diskonto
dan syarat cadanagn wajib, untuk mengubah tingkat penawaran uang. Sebagai
contoh, kenaikan syarat cadangan wajib akan menurunkan kemampuan bank dalam
menyediakan deposito akibat susutnya nilai penggandaan. Dengan asumsi
harga-harga bersifat kaku, maka hal itu selanjutnya akan menurunkan saldo rill
dan menaikkan suku bunga. Kenaikan suku bunga selanjutnya menurunkan investasi
dan output.
Bernanke
(1983; 1993a; 1993b) dan para penulis pendampingnya telah menjelaskan arti
penting kredit dalam perekonomian. Bernanke dan Blinder (1988a; 1988b)
memaparkan arti penting peminjaman perbankan dalam mekanisme transmisi
kebijakan moneter. Asumsikan bank sentral menerapkan kebijakan moneter
kontraksioner yang menurunkan cadangannya sendiri maupun deposito perbankan.
Kalau penyusunan dana deposito itu tidak diimbangi oleh dana-dana lain yang
tidak tersentuh oleh ketentuan cadangan wajib atau diikuti oleh penurunan
sebanding dalam peredaran surat berharga, maka kredit perbankan pasti akan
turun. Dampak selanjutnya bisa berupa penurunan investasi, kalau andalan
investasi memang adalah kredit perbankan. Dalam praktiknya, pinjaman bank
memang merupakan sumber utama pembuatan kegiatan bisnis dibanyak Negara
berkembang. Karenanya, penurunan kredit perbankan akan langsung diikuti oleh
penurunan investasi dan kegiatan ekonomi pada umumnya. Di Indonesia, pinjaman
bank sangat pinting dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter (Agung, 1998;
Goeltom, 2008). Ada dua kondisi yang menentukan keberadaan saluran peminjaman
bank yaitu:
1.
Kemampuan bank
sentral membatasi penawaran dana pinjaman perbankan.
2.
Pinjaman
perbankan bukan merupakan pengganti sempurna bagi sekuritas atau surat-surat
berharga, paling tidak bagi sebagian peminjam.
Bernanke dan Gertler
(1995) berpendapat bahwa kondisi pertama patut dirgukan secara enpiris. Adalam
rangka membatasi kemampuan perbankan menyalurkan kredit setelah berlangsungnnya
kontraksi moneter yng menyusutkan deposito perbankan, bank-bank perlu dibatasi
kemampuannya dalam menerbitkan bentuk-bentuk pasiva lainnya. Dalam kalimat
lain, semua pasiva bank (kecuali modal) harus dikenai syarat cadangan wajib.
Ini merupakan asumsi restriktif. Sebagai contoh, pemerintah sengaja menerapkan
aturan yang membatasi bank menerbitkan saham baru guan menambah modal (capital
eduquacy regulation) berdampak terhadap kemauan bank dalam menyalurkan kredit.
Kondisi kedua secara umum dapat terpenuhi dikebanyakan Negara berkembang.
Akibat ketimpngan informasi di pasar kredit ini sehingga para pencari pinjaman
tetap saja tergantung kepada perbankan.
Tinjauan
kredit dalam kebijakan moneter ini, karenanya, membawa dua implikasi penting
bagi para pembuat kebijakan:
1.
Sejumlah
ekonomi menyatakan bahwa kredit bisa menjadi instrument unggulan kebijakan
moneter karena kredit sendiri merupakan indicator utama kegiatan ekonomi.
Bernanke dan Blinder (1988a; 1988b) mengingatkan kalau diingat dampaka
kebijakan moneter terhadap kemampuan sistem perbankan dalam menyalurlkan
kredit, maka kredit dapat menjadikan variabel antara kalau besaran agregat
moneter tidak bisa diandalakan. Hal itu memang terjadi kalau permintaan uang
tidak stabil. Dalam lingkungan finansial yang sudah terderegulasi, para pembuat
kebijakan akan dapat memprediksi inflasi dan pertumbuhan ekonomi dalam kurun
waktu yang lebih panjang dengan cara mengamati perkembangan kredit, bukannya
besaran agregat moneter.
2.
Saluran kredit
dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter memungkinkan pemhaman yang labih
baik mengeni hakikat dan sifat-sifat siklus bisnis. Menurut Bernanke, dkk
(1999a), serangkaian penelitian yang dilaksanakan pada penghujung 1990-an
menunjukkan bahwa dampak kejutan kebijakan moneter terhadap perekonomian
cenderung kian kuat dan bertahan lama ketimbang yang diprediksikan dalam model-model
tradisional. Saluran kredit dpat membantu kita memahami ketimpangan itu, dan di
dalamnya diyakini terdapat mekanisme penguat tertentu dimana berbagai kesulitan
disektor riil pada akhirnya akan menjalar ke pasar kredit. Dampak lanjutannya
adalah penurunan investasi yang kian melumpuhkan perekonomian. Lebih jauh lagi,
kejutan kredit perbankan juga memberi dampak besar terhadap kegiatan ekonomi
secara keseluruhan. Perubahan aturan dan kekacauan disektor finansial akan
mendorong perbankan kian hati-hati dalam menyalurkan kredit, dan hal ini jelas
turut memperketat kegiatan (Blinder dan Stiglitz, 1983; Khan, 2003).
D.6Saluran Neraca Keuangan
Gagasan dasar
yang melatar belakangi konsepsi saluran neraca keuangan dalam mekanisme
transmisi kebijakan moneter adalah bahwa kebijakan moneter itu dapat
memengaruhi kekuatan finansial (atau kekayaan bersih) para pemakai pinjaman.
Kebijakan moneter juga dapat memengaruhi biaya-biaya pemakaian dana pinjaman
dari sumber eksternal yang tentunya memengaruhi keputusan investasi para
pemakai pinjaman. Kalau bank sentral menerapkan kebijakan moneter kotraksioner
yang menaikkan suku bunga, maka hal ini akan memengaruhi posisi keuangan para pemakai
pinjaman dalam dua cara yaitu :
1.
Kebijakan itu
menurunkan harga-harga aset, yang juga menurunkan nilai agunan milik peminjam
dana, sehingga kemampuan meminjamnya pun berkurang.
2.
Kenaikan suku
bunga memperbesar biaya pinjaman jangka pendek dan pinjaman terpakai atau
pinjaman mengambang sehingga menyusutkan arus kas.
Masalah-masalah moral, niat menghindari kesulitan
tak terduga dan adanya hokum kebangkrutan, akan membuat para peminjam yang
kekayaan netonya rendah menghadapi risiko kebangkrutan yang lebih besar,
apalagi peminjaman baru kian sulit diperoleh karena para penyedia dana juga
semakin berhati-hati dalam memilih penerima dana pinjaman. Sebaliknya, bagi
para peminjam yang kekayaan netonya masih besar, maka nilai agunan yang
dimilikinya kian besar dan biaya pemantauan dipihak penyedia dana akan turun
sehingga ia akan kian mudah memperoleh pinjaman baru. Dalam situasi sepeti ini,
biaya pinjaman yang dibebankan oleh pemilik dana akan bervariasi , tergantung
pada kelayakan calon peminjamnya, karena masing-masing peminjam akan
membebankan biaya pemantauan kredit dan evaluasi proyek yang berlainan pula.
Hal ini mengindikasikan bahwa ketimpangan informasi akan membuat pembiayaan
internal (dana sendiri) untuk berbagai proyek baru akan lebih murah ketimbang pembiayaan
eksternal. Penerapan kebijakan moneter memengaruhi bobot relatif antara
pembiayaan internal dan eksternal tersebut. Kontraksi (ekspansi) moneter
meningkatkan (menurunkan) kesenjangan antara pembiayaan internal dan eksternal.
Dampaknya pun pada akhirnya akan menyentuh ketingkat investasi dan output (Mishkin,
2007a).
E. Permintaan Uang Dan Transmisi Kebijakan Moneter
Fungsi permintaan uang yang stabil merupakan syarat penting bagi
kelancaran transmisi dampak perubahan penawaran uang terhadap belanja agregat.
Dalam kepustakaan teoritis mutakhir, ada tiga kelompok model permintaan uang
yang paling dominan. Yakni model-model teori permintaan persamaan tunggal (single equation demand theory models),
model-model yang berbasis pada teori portofolio (portoolio theory models) serta model-model yang bersumber dari
teoru inventori (inventory theory models).
Model-model teori permintaan khas aliran ilmu ekonomi Chicago merumuskan fungsi
permintaan uang dengan cara yang sama seperti perumusan fungsi permintaan untuk
barang-barang tahan lama lainnya. Penegasan kembali teori kuantitas uang
Friedman (1956) merupakan inspirasi intelektual bagi model ini. Adapun
model-model teori portofolio terutama dikembangkan oleh aliran ilmu ekonomi
Yale. Gagasan dasarnya sendiri dicetuskan oleh J.M. Keynes yang selanjutnya
dikembangkan oleh Tobin (1958). Dalam model-model ini, permintaan uang
dianalisis dari sudut pemilihan
portofolio atau sekumpulan aset dengan penekanan pada perhitungan risiko dan
perkiraan hasil dari masing-masing jenis aset. Sedangkan pendekatan teoritis
inventori yang berokus pada permintaan uang untuk keperluan transaksi
dikembangkan oleh Baumol (1952) dan Tobin (1956), dilanjutkan oleh Feige dan
Pearce (1977). Pendekatan ini berfokus pada kebutuhan manusia memiliki uang
tunai guna mengatasi perbedaan antara arus pendapatan dan arus pembelanjaan
(saat manusia merasa perlu berbelanja hampir selalu berbeda dengan saat ia
menerima pendapatan). Model ini secara rinci menghitung besar kecilnya
kebutuhan akan uang berdasarkan ungsi biaya transaksi, di mana di dalamnya
termasuk pula perhitungan atas biaya inventori uang alias biaya pencadangan/
penyimpanan uang untuk keperluan berjaga-jaga (inventory holding costs) serta biaya perantaraan (brokerage costs).
Pendekatan portofolio terhadapvpermintaan uang kurang cocok untuk
kebanyakan negara berkembang yang belum memiliki pasar modal yang sudah
berkembang dengan baik sehingga tidak memiliki perdagangan aktif atas berbagai
macam aset inansial dalam dan luar negeri. Untuk negara-negara berkembang,
permintaan uang diyakini bersumber dari motif transaksi. Karenanya, teori
permintaan transaksi Baumol-Tobin lebih cocok digunakan dalam perekonomian
demikian. Namun, pendekatan teoritis inventori (inventory theoretic approach) terlalu ketat rinciannya dan seri
data tentang biaya perantaraan dan berbagai macam biaya transaksi lainnya sulit
diperoleh sehingga pendekatan ini tidak praktis untuk digunakan. Lagipula,
dalam kenyataannya, bahwa fungsi utama uang untuk keperluan transaksi tidaklah
berarti bahwa teori yang lebih umum tentang permintaan uang tidak bisa
diterapkan di negara-negara berkembang. Seperti dikemukakan Laidler (1993)
teori permintaan uang didasarkan pada teori permintaan yang lebih umum dan
secara logis tidak bertentangan dengan praktik penggunaan uang terutama untuk
keperluan transaksi. Hal itu juga tidak berlawanan dengan rumusan bahwa uang
merupakan pagar teraman memperkecil resiko yang terkandung dalam kepemilikan
aset-aset lain. Kalau dunia ini serba pasti, maka alasan kepemilikan uang tunai
dapat diperas menjadi dua saja, yakni untuk memperlancar konsumsi dan alat
untuk memperoleh penghasilan (bunga). Namun, dalam praktiknya dunia ini serba
tidak pasti, apalagi perekonomian negara-negara berkembang, sehingga masyarakatnya
selalu perlu memegang uang tunai untuk keperluan darurat (Friedman, 1957). Dari
sekian banyak jenis kekayaan, uang senantiasa merupakan aset yang menarik bagi
semua pemilik kekayaan karena kemudahannya ditukarkan sehingga bisa digunakan
untuk memperoleh apa saja (Friedman dan Schwartz, 1963a). Itu sebabnya
model-model berbasis teori permintaan aliran ilmu ekonomi Chicago a la riedman
paling lazim digunakan dalam berbagai studi empiris tentang permintaan uang,
baik itu di negara maju maupun berkembang.
F. Stabilitas Permintaan Uang
Stabilitas permintaan uang merupakan masalah yang bolak-balik
muncul dalam teori dan aplikasi kebijakan makroekonomi. Suatu ungsi permintaan
uang yang stabil akan memenuhi berbagai syarat yang diperlukan agar uang
memberikan pengaruh yang paling bisa diprediksi terhadap perekonomian secara
keseluruhan. Seandainya fungsi permintaan uang itu stabil, maka bank sentral
akan memiliki kontrol penuh terhadap penawaran uang, dan hal itu akan menjadi
instrumen yang sangat berguna bagi kebijakan ekonomi pada umunya. Adapun
pengertian fungsi permintaan uang menurut Friedman (1969a: 155) :
“hal penting yang berikutnya
harus di pertimbangkan dalam teori dan kebijakan moneter adalah apakah
permintaan uang (money demand) bisa diperlakukan sebagai fungsi yang cukup
stabil atas sejumlah variabel berangka kecil, dan apakah fungsi ini bisa
dirinci secara empiris dan cukup akurat. Mengenai apakah fungsi itu menyangkut
suku bunga tertentu atau sehimmpunan kemungkinan suku bunga tertentu tidak terlalu
penting. Kalau elastisitas suku bunganya tidak nol, pasti akan ada pergerakan
di sepanjang fungsi itu yang mudah ditafsirkan sebagai tanda-tanda
instabilitasnya”.
Dalam konteks empiris, gagasan ungsi permintaan uang yang stabil
mensyaratkan sekurang-kurangnya tiga elemen yaitu :
1. Hubungan permintaan uang yang dapat dengan mudah diprediksi secara
statistik yang diukur melalui :
a) Perangkat pengukuran statistik biaya, misalnya R2
b) Koefisien estimasi yang cukup rinci, maksudnya yang nilai-nilai t-nya tinggi
c) Bisa memprediksi secara akurat berdasarkan of sample
2. Adanya fungsi permintaan uang yang stabil dengan faktor-faktor
penentu yang relatif sedikit. Hubungan ini mensyaratkan adanya pemahaman atas
berbagai macam variabel untuk keperluan verifikasi, sehingga tidak dapat
diprediksi
3. Variabel-variabel yang untuk keperluan argumentasi, dapat
mempertautkan tingkat pembelanjaan dan aktivitas ekonomi pada umunya disektor
rill.
BAB III
KESIMPULAN
Dari materi diatas dapat disimpulkan bahwa
adanya berbagai masalah yang berkaitan dengan mekanisme transmisi kebijakan
moneter di negara-negara berkembang. Melalui kajian tentang mekanisme transmisi
menurut aliran klasik VS keynesian, kita telah mengetahui bahwa untuk
negara-negara berkembang, rumusan klasik ternyata lebih sesuai. Kita tahu pula
bahwa dalam perekonomian yang sektor finansialnya masih tertekan, dimana suku
bunga ditentukan dengan keputusan
administratif dan penjatahan kredit merupakan komponen pokok kebijakan moneter,
ketersedian kredit menimbulkan dampak langsung dan segera terhadap belanja dan
output. Mekanisme transmisi dalam perekonomian dengan sektor represi finansial,
berikut tinjauan historis tentang evolusi kebijakan moneter dan mekanisme
kerjanya di negara-negara berkembang. Pandangan yang bertumpu pada uang dan
kredit merupakan kerangka analisis yang penting untuk memahami mekanisme
transmisi kebijakan moneter.
Elastisitas pendapatan dari permintaan uang
sempit (narrow money) di kebanyakan
negara berkembang berkisar pada angka 1. Dalam kasus-kasus luar biasa, hal itu
mencerminkan lebih rentahnya kadar
monettisasi dalam perekonomian yang bersanglutan, serta kurangnya variasi aset
finansial yang tersedia. Implikasinya,permintaan uang tidak selalu bertolak
dari kebutuhan bertransaksi. Disebagian besar negara berkembang yang tingkat
inflasinya relatif tinggi, besar-kecilnya angka inflasi ternyata lebih
mencerminkan besar-kecilnya biaya oportunitas (opportunity cost) menyimpan uang tunai dari pada besar –kecilnya
suku bunga.
Dalam perekonomian yang sektor finansialnya
tertekan, ketiadaan pasar modal yang sudah berkembang dengan baik mengakibatkan
operasi-operasi pasar terbuka, yang menjadi andalan kebijakan moneter berbasis
prinsip kehati-hatian, menjadi tidak begitu efektif. Dalam perekonomian seperti
ini, mekanisme transmisi kebiakan moneternya lebihmenyerupai penggambaran para
ekonom klasik tertimbang kaum keynesian. Implikasinya, perubahan-perubahan
penawaran uang cenderung berdampak langsung terhadapbelanja agregat, sehingga mempengaruhi
puls tingkat harga. Namun apa saja dampak neto dari perubahan suku bunga yang
diatur pemerintahan terhadap permintaan agregat daram perekonomian yang secara
finansial tertekan masih diperdebatkan. Selama ini, permintaan uang di
negara-negara berkembang secara umum dapat dikatakan stabil, meskipun setelah
dilakukannya liberalisasi finansial. Hanya dalam jangka pendek, fungsi
permintaan uang menjadi kurang stabil setelah dilakukannya liberalisasi
finansial. Hal ini lebih mencolok di negara-negara di mana pembukaan neraca
transaksi berjalan pada neraca pembayarannya mengakibatkan subtitusi mata uang.
Instabilitas jangka pendek fungsi permintaan
uang membawa implikasi bahwa kebijakan moneter yang berbasis prinsip
kehati-hatian sulit diandalkan sebagai piranti manajemen makroekonomi dalam
jangka pendek. Sebaliknya, stabilnya fungsi permintaan uang jangka panjang dan
fakta bahwa dalam jangka panjang penawaran uang mempengaruhi tingkat harga,
bukannya output, mengisyaratkan bahwa kebijakan moneter seharusnya difokuskan
untuk mengendalikan inflasi dalam jangka panjang.
DATAR PUSTAKA
Akhand Akhtar Hossain. 2010. Bank Sentral Dan Kebijakan Moneter Di
Asia-Pasifik.
Rajawali
Pres : Jakarta.
No comments:
Post a Comment