30 April 2015

Mekanisme Transmisi Kebiakan Moneter dalam Permintaan Uang




BAB I
PENDAHULUAN
Kebijakan moneter dapat mempengaruhi output dalam jangka pendek, sedangkan dalam jangka panjang hanya mempengaruhi tingkat harga. Namun, pengaruh kebijakan moneter terhadap perekonomian secara keseluruhan tetap tidak pasti akibat  lama dan panjangnya proses terkait. Konsensus yang sedang berkembang menyebutkan bahwa kebijakan moneter memiliki keunggulan komperatif dalam mempertahankan stabilitas harga dalam jangka panjang. Oleh sebab itu, otoritas moneter seharusnya menggunakan kebijakan moneter untuk menjaga kestabilitasan harga saja, dari pada memakainya untuk mengutak-atik perekonomian.
Mekanisme transmisi kebijakan moneter menunjukkan bahwa untuk berfungsi sebagaimana yang diharapkan, kebijakan moneter memerlukan saluran-saluran tertentu, dan melalui saluran itu pula kebijakan moneter memberikan dampak terhadap perekonomian dalam jangka pendek. Karena kebijakan moneter dipandang sebagai kebijakan menajemen sisi permintaan, maka pemberlakuan kebijakan moneter diharapkan langsung memberikan pengaruh terhadap permintaan agregat lewat berbagai macam komponennya pemberlakuan kebijakan ini bisa bersifat tidak langsung tergantung pada instrumen yang digunakan. Masalah pokoknya masih berkisar pada apakah ekonomi moneter harus menjalankan kebijakan moneter secara aktif demi menciptakan stabilitas harga dalam jangka menengah dan panjang, sekaligus memelihara pertumbuhan ekonomi dan/atau stabilitas ekonomi. Pemahaman mengenai mekanisme transmisi kebijakan moneter pun perlu diperoleh bagi kesuksesan penerapan kebijakan moneter itu sendiri dalam mempengaruhi permintaan agregat (dan mungkin juga penawaran agregat), demi tercapainya tujuan pokoknya, yakni stabilitas harga dalam jangka menengah atau sepanjang siklus bisni.
Ketika bank sentral menjalankan kebijakan moneter, mereka melakukan serangkaian pengaturan atau penyesuaian ekonomi yang bekerja di pasar barang maupun pasar aset. Penerapan kebijakan moneter mempengaruhi pembelanjaan, output, dan penyerapan sumber daya (employment) dalam jangka pendek, yang berujung pada perubahan tingkat harga dalam jangka menengah dan jangka panjang. Kepustakaan awal tentang kebijakan moneter berfokus pada dua pendekatan,, yakni mekanisme transmisi aliran klasik dan aliran keynesian. Kepustakaan ini secara umum menunjukkan bahwa suku bunga dan pola pengelolaan kekayaan pribadi merupakan saluran utama yang dilalui kebijakan moneter dalam memberikan pengaruhnya terhadap perekonomian. Kepustakaan moderen menunjukkan adanya saluran-saluran lain yang dilalui kebijakan moneter dalam memengaruhi perekonomian dalam konteks perekonomian terbuka.
Kebijakan moneter seperti apa yang seharusnya dijalankan bank sentral tergantung dari kerangka kebijakan moneter yang dianutnya, kondisi perekonomian pada umumnya dan kondisi dasar sistem keuangannya. Sampai baru-baru ini, sistem keuangan dikebanyakan negara berkembang masih tertekan (tidak bebas),  sehingga mekanisme transmisi kebijakan moneternya bersifat langsung.  Dalam sistem keuangan yang tertekan, bank sentral langsung mengendalikan  kredit perbankan swasta, menetapkan suku bunga dan kurs, serta terlibat dalam pengaturan pengucuran kredit ke sektor-sektor prioritas untuk mempromosikan investasi pertumbuhan ekonomi nasional. Pelonggaran kontrol atas kredit, suku bunga dan kurs yang belakangan ini dilakukan telah membawa perubahan struktural terhadap perekonomian. Sedangkan dalam perekonomian ysng telah terderegulasi, pemberlakuan kebijakan moneter mempengaruhi perekonomian melalui beberapa saluran. Karenanya, dinamika penyesuaian ekonomi dalam jangka pendek dan panjang bisa acak, tergantung dari apakah kejutan yang hendak diatasi bersifat nominal ataukah rill, serta apakah kejutan itu hanya sesaat ataukah permanen.
Dalam sistem finansial yang telah terderegulasi, penerapan kebijakan moneter ditunjukkan untuk memengaruhi berbagai komponen perminataan agregat melalui mekanisme harga. Investasi dalam negri dan ekspor neto (total ekspor dikurangi impor) adalah komponen kunci permintaan agregat yang acapkali dijadikan target. Di negara-negara yang pasar uang dan pasar modalnya telah berkembang dengan baik, perubahan suku bunga jangka pendek langsung memengaruhi keseluruhan struktur suku bunga (kurva gabungan) dan kurs. Bila ada kekakuan harga dan upah jangka pendek, maka perubahan apapun atas suku bunga nominal akan segera menjelma menjadi perubahan suku bunga rill. Oleh sebab itu, dalam jangka pendek, perubahan suku bunga nominal memiliki pengaruh yang dapat ditebak terhadap permintaan agregat dan output melalui investasi dan ekspor neto. Kebijakan moneter yang ampuh memciptakan perubahan rill tersebut, mungkin tidak dapat bekerja di negara-negara berkembang yang sangat  inflasionet (tingkat inlasinya tinggi). Salah-salah, penerapan kebijakan moneter justru bisa memicu reaksi berantai yang pada akhirnya memunculkan kekalutan kebijakan dan perkiraan inflasi yang kelewatan tinggi sehingga memperburuk inflasi yang ada dengan cepat, tanpa membuat manfaat berarti pada output, meskipun dalam jangka pendek. Jadil, alih-alih bisa meningkatkan output atau penerapan sumber daya, kebijakan moneter itu justru bisa mamacu inflasi dan menstabilkan moneter dilingkungan ekonomi yang sangat inlasioner.
 
BAB II
ISI
A.     Mekanisme Transmisi Klasik VS Keynesian
Mekanisme Transmisi Klasik
Dalam ilmu ekonomi klasik, hubungan antara uang dan output bersiat langsung, dan rumusnya diturunkan dari Persamaan Pertukaran :
MV  = Py                                                                     (8.1)
Dimana :
*      M : stok uang,
*      V  : velositas atau kecepatanperedaran uang,
*      P  :tingkat harga, dan
*      y  : pendapatan rill
persamaan ini dapat dinyatakan sebagai teori pendapatan minimal dimana Py ditentukan oleh tingkat stok uang, sehingga :
                                                M = θ Py (θ = 1/V)                                                      (8.2)
Dimana :
*      Θ : kebalikan dari velositas uang, yang diasumsikan dapat diprediksi, namun tidak selalu konstan.
Rumusan netralitas moneter ini berlaku dalam jangka panjang. Karenanya, kenaikan penawaran uang secara eksogen menaikkan tingkat pendapatan nominal Y(=Py). Dalam jangka pendek,  ekspansi moneter akan memperbesar pembelanjaan dan output, namun dalam jangka panjang hal itu hanya akan terjadi jika tingkat harga juga naik. Secara skematis, mekanisme transmisi kebijakan moneter adalah sebagai berikut :
M/M ∆AE/AE → ∆Y/Y ≈ ∆P/P 1 ∆y/y ≈ ∆y/y (jadi, ∆P/P ≈ 0 dalam
jangka pendek)                                                                                                       (8.3)
M/M ∆AE/AE → ∆Y/Y ≈ ∆P/P 1 ∆y/y ≈ ∆P/P (jadi, ∆y/y ≈ 0 dalam
Jangka panjang)                                                                                                      (8.4)
Dimana :
*      M/M           : tingkat pertumbuhan penawaran uang secara nominal
*      ∆AE/AE       : melambangkan tingkat pertumbuhan pembelanjaan nominal
*      ∆Y/Y                        : tingkat pertumbuhan pendapatan nominal
*      ∆P/P              : merupakan tingkat pertumbuhan tingkat harga
*      ∆y/y              : tingkat pertumbuhan pendapatan rill
Dalam model pembentukan tingkat pendapatan klasik diatas, asusmsi terpentingnya adalah bahwa Velositas uang itu bersiat konstan atau bisa diprediksi. Ketika kenaikan penawaran uang membawa perubahan terbalik namun senilai atas velositas uang, maka pengaruhnya akan di transmisikan ke tingkat harga atau output. Setiap ekspansi moneter akan di imbangi sepenuhnya oleh perubahan velositas uang, tanpa mengubah output atau tingkat harga. Karena itu arah dan besaran pergerakan velositas uang mengandung implikasi penting terhadap keandalan dan efektivitas kebijakan moneter dalam mengubah output dan atau tingkat harga.  Jika  velositas uang konstan, maka stok uang akan sebanding dengan tingkat output nominal. Implikasinya adalah bahwa kebijakan moneter dapat digunakan untuk menargetkan pendapatan nominal, terlepas dari lingkungan kurva penawaran yang ada. Peran permintaan uang dalam mekanisme transmisi sangat penting berdasarkan fakta bahwa kekonstanan velositas uang mensyaratkan bahwa permintaan saldo rill terutama dan selalu di tentukan oleh pendapatan rill yang tidak sensitif terhadap suku bunga nominal.  Ini pula syarat yang memungkinkan pendapatan rill dan suku bunga terbebas dari kaitan dengan penawaran uang. Fungsi permintaan uang yang stabil akan berarti adanya ungsi velositas uang yang stabil pula. Artinya, velositas merupakan sebuah fungsi konstan (sebuah konstanta) dan bukan berupa angka sehingga velositas uang bisa berafriasi secara sistematis dan mudah diprediksi reaksinya terhadap variabel-variabel lainnya dalam fungsi yang dimaksud. Implikasi selanjutnya adalah tingkat pertumbuhan penawaran uang pun menjadi faktor penentu utama inflasi dalam jangka panjang. Selama bank sentral memiliki kendali terhadap penawaran uang, maka inflasipun menjadi target kebijakan dan tanggung jawab bank sentral. Adapun pandangan menurut kaum klasik (Goodfriend 1997 : 9) :
”Teori permintaan uang mengisyaratkan bahwa kontrol terhadap penawaran uang itu perlu dan memadai untung mengendalikan inflasi . . . permintaan uang bisa dipandang sebagai sasaran yang harus dicapai bank sentral dalam memerangi inflasi, sedangkan penawaran uang bisa dipandang sebagai basis pijakannya”.

Mekanisme Transmisi Keynesian
Gagasan yang menyatakan bahwa uang merupakan alternatif dari obligasi merupakan intisari teori moneter keynesian.  Menurut keynes, uang diminta untuk keperluan transaksi maupun spekulasi. Permintaan uang untuk spekulasi sangat sensitif terhadap perkiraan akan naik-turunnya harga obligasi. Sebagai contoh, kalau harga-harga obligasi rendah (sedangkan suku bunga tinggi), maka khalayak akan menyimpan lebih banyak obligasi dan menyimpan lebih sedikit uang tunai. Demikian pula sebaliknya, jika harga obligasi tinggi (dan suku bunga rendah), maka masyarakat akan memiliki lebih sedikit obligasi dan lebih banyak uang tunai. Kebijakan moneter memengaruhi seluruh perekonomian melalui saluran suku bunga. Sebagai contoh, kalau penawaran uang  meningkat, maka masyarakat akan tendorong menggunakan kelebihan uang tunainya dengan membeli aset-aset lain, misalnya obligasi. Itu berarti kebijakan moneter tadi telah meningkatkan permintaan terhadap obligasi, dan pada gilirannya hal ini akan menaikkan harga obligasi (dengan asumsi penawaran obligasinya tetap sama seperti sebelumnya). Dampak selanjutnya, suku bunga akan turun, dan hal ini akan meningkatkan investasi,  dan selanjutnya akan meningkatkan pula output perekonomian yang bersangkutan. Secara sistematik, mekanisme transmisi keynesian adalah sebagai berikut :
M/M r I → ∆Y/Y ≈ ∆P/P + ∆y/y ≈ ∆y/y (given ∆P/P ≈ 0)            (8.5)
Dimana :
*      r : suku bunga rill
*      I : investasi
Jadi dalam model keynesian, penawaran uang mempengaruhi  output melalui dampaknya terhadap suku bunga. Hanya saja dalam praktiknya, dampak kebijakan moneter terhadap output tidak bisa dipastikan. Dampak itu di tentukan oleh sejumlah  aktor seperti pengaruh kelebihan penawaran uang terhadap suku bunga,  kepekaan investasi terhadap pergerakan suku bunga, serta efek penggandaan kegiatan pembelanjaan.  Jika suku bunga yang berlaku sangat rendah dan permintaan uang ternyata permintaan uang bersumber dari penggunaan kelebihan uang tunai oleh masyarakat untuk tuuan-tujuan spekulasi (misalnya, mereka membeli obligasi yang harganya diperkirakan akan segera turun), maka kenaikan penawaran uang tidak akan berdampak terhadap suku bunga. Kondisinya yang ekstrem dikenal dengan sebutan “jebakan likuiditas” (likuidity trap). Dalam kondisi normal, permintaan uang sedikit-banyak akan sensitif terhadap suku bunga (mudah berubah sesuai dengan pergerakan suku bunga), namun hal itu takkan menghilangkan sama sekali peran kebijakan moneter dalam mengubah output dan/atau harga dalam jangka pendek. Berkenaan dengan hal ini, Friedman (1969a : 155) menegaskan :
Kita perlu mencoba menentukan seakurat mungkin karakteristik- karakteristik permintaan uang, termaksud elastisitas permintaan itu terhadap suku bunga.  Namun dalam hemat saya, tidak ada ‘personal fundamental’ dalam teori moneter maupun kebijakan moneter yang mengharuskan kita untuk menetapkan elastisitas sekitar nol atau sebaliknya -0,1 -0,5 ataukah -2,0 karena kita sulit mendapatkan angka berapapun dari -∞ ”.
Kita perlu memiliki fungsi permintaan uang yang stabil untuk menakar apakah perubahan penawaran uang memberi pengaruh terhadap inflasi, output, dan neraca pembayaran. Termaksud yang kita perlukan adalah cara yang pasti untuk mengukur bagaimana kelebihan uang tunai memengaruhi permintaan agregat melalui dampak suku bunga terhadap investasi dan dampak saldo rill terhadap pembelanjaan. Hal ini pada gilirannya akanmenemukan struktur finansial, khususnya kelengkapan struktur dan  keluasan jangkauan pasar uang, serta fleksibilitas suku bunga. Dalam perekonomian yang sektor finansialnya masih tertekan (suku bunganya bisa di terapkan melalui peraturan, bukannya lewat mekanisme pasar) dan kredit masih dibagi dengan cara penjatahan, dan keduanya menjadi elemen yang penting kebijakan moneter, ketersediaan kredit akan berdampak langsung terhadap belanja dan output.

B.     Represi Finansial dan Kebijakan Moneter
Dalam sistem keuangan yang masih tertekan, kontrol moneternya bersiat langsung. Otoritas moneter sekedar menambah penawaran uang begitu saja dengan harapan hal itu dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Akibat sampingan berupa tekanan terhadap tingkat harga dan neraca pembayaran dicoba-mentahkan dengan  metode langsung seperti kontrol kredit, pemberlakuan aturan syarat cadangan minimum, dan berbagai pembatasan administratif terhadap suku bunga dan kurs. Masalahnya aneka kontrol langsung ini tidak selalu efektif akibat inkonsistensi antara kebijakan-kebijakan fiskal dan moneter/kurs dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai.
Pertama-tama, proses penawaran uang menjadi endogen dibawah sistem kurs baku. Hal ini disebabkan oleh kaitan langsung antara basis moneter, defisit anggaran pemerintah, dan perkembangan pada neraca pembayaran. Keterkaitan antara penawaran uang dan perkembangan neraca pembayaran itu sendiri merupakan dampakn dari kebijakan pembakuan kurs. Jika pasar modal dan pasar uang belum berkembang dengan baik, maka pemerintah harusmembiayai defisit anggarannya dengan meminta pinjaman dari bank sentral. Disinal simpul keterkaitan antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter.
Pembatasan suku bunga merupakan karakter khas berikutnya  dari represi financial. Adanya pembakuan kurs dan pembatasan suku bunga memperlihatkan bahwa otoritas moneter di negara yang bersangkutan menganut kebijakan penargetan suku bunga yang menyebabkan agregat moneter bersifat endogen, sebagaimana dibentuk oleh permintaan uang. Kalau ada pembatasan suku bunga maka permintaan atas dana-dana pinjaman/ kredit biasanya akan terimbangi sepenuhnya oleh penawaran dana-dana kredit yang tersedia. Penjatahan kredit (kredit rationing) pun menjadi elemen penting dalam kebijakan moneternya. Penjatahan kredit bisa dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Kontrol kredit tidak langsung misalnya berupa himbauan persuasi atau peningkatan rasio cadangan wajib. Jika syarat cadangan wajibnya meningkat, maka kemampuan perbankan dalam menyediakan kredit sendirinya akan turun. Bank-bank sentral juga dapat menggunakan fasilitas-fasilitas rediskonto (rediscount afcilities) guna membatasi penciptaan kredit.  Sedangkan kontrol langsung bisa berupa penerapan aturan yang secara tegas membatasi jumlah kredit perbankan bagi sektor swasta. Secara umum, di bawah aturan seperti ini, kredit ke sektror swasta baru  diberikan jika kebutuhan pembiayaan pemerintah telah terpenuhi.
Wujud represi inancial yang lebih sering dilakukan dari pada kontrol kredit adalah kontrol kurs (exchange control). Pengalihan langsung terhadap arus-arus permodalan akan meningkatkan efektvitas kebijakan moneter, jika sistem kursnya baku/tetap. Namun tujuan seketika/jangka pendek dari kontrol seperti itu adalah mengurangi tekanan terhadap cadangan devisa.

C.     Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Dalam Perekonomian Tertekan
Montiel (1991) mengembangkan model penunjang guna menelaah dampak kebijakan moneter terhadap permintaan agregat dalam perekonomian yang secara finansial tertekan (mengalami represi finansial). Secara lebih spesifik, ia menelaah dampak yang ditimbulkan empat instrument kebijakan monete, yaitu:
1.      Suku bunga perbankan yang dikendalikan pemerintah.
2.      Rasio cadangan wajib.
3.      Jumlah kredit yang disediakan bank sentral untuk perbankan komersial.
4.      Intervensi otoritas moneter terhadap pasar-pasar valuta asing. Ia menunjukan bahwa setiap perubahan pada masing-masing instrumen itu menimbulkan tiga dampak, yaitu:
1.      Dampak suku bunga ( interest rate effect ).
2.      Dampak kekayaan rumah tangga ( household wealth effect ).
3.      Dampak fiscal pemerintah ( gofernment fiscal effect ).
Dampak suku bunga bertolak dari fakta bahwa represi finansial secara implisit menghadirkan sistem perpajakan dan subsidi bagi rumah tangga, baik sebagai kreditur maupun dibitur dalam sistem perbankan. Nilai sekarang (present value) pajak dan subsidi itu berubah kalau instrument-instrumen kebijakan moneter tadi memengaruhi tingkat efektif represi finansial, baik melalui perubahan tingkat panjang yang dikenakannya terhadap komposisinya sendiri dan yang selanjutnya mengubah basis pengenaan pajaknya. Sebagai contoh, kalau suku bunga tidak dimungkinkan untuk merubah guna menyesuaikan diri terhadap inflasi, para pemilik uang akan kehilangan sebagian daya belinya, sama seperti kalu mereka membayar pajak. Dalam waktu bersama, kalau rumah tangga labih menyimpan lebih banyak uang tunai dalam rangka mempertahankan nilai riil (daya beli) dari total uang yang dipegannya, maka hal itu mengubah basis pajak (dasar perhitungan pajak, yakni total uang/aset yang dimilikinya). Karena itu, kenaikan suku bunga yang diatur pemerintah menunjukan tingkat efektif represi finansial dan menaikkan kekayaan neto rumah tangga.
Sedangkan dampak fiskal bertumpuh pada fakta bahwa laba bank sentral merupakan sumber pendapatan bagi pemerintah. Perubahan pada instumen kebijakan moneterpun memengaruhi laba neto bank sentral. Sebagai contoh, kalau suku bunga yang diatur pemerintah dinaikkan, maka laba bank sentral (dan sekaligus pendapatan “senioritas” seigniorage pemerintah) juga meningkatkan karena bank sentral biasanya tidak memberi imbalan bunga bagi cadangan wajib deposito perbankan komersial.
Dampak Kebijakan Moneter terhadap Pemerintah Agregat dalam Sebuah Perekonomian yang Sektor Finansialnya Tertekan:
Instrumen Kebijakan Moneter
Dampak Suku Bunga
Dampak Kekayaan
Dampak Fiskal
Dampak Total
Kebiajan perbankan
Positif
Positif
Positif
Positif
Rasio cadangan wajib
Negatif
Negatif
Positif
Tidak Pasti
Penetapan suku bunga
Tidak Pasti
Positif
Positif
Tidak Pasti
Sumber: Kompilasi penulis berdasarkan telaah Montiel ( 1991 )
Tabel diatas menyajikan rangkuman dampak-dampak perubahan keempat instrumen kebijakan moneter diatas terhadap permintaan agregat. Peran kredit perbankan sebagai instrument manajemen permintaan cukup jelas wujudnya, namun tidak jelas sifatnya. Dampak model Montiel, kenaikan kredit bank menunjukan pemerintah pinjaman di pasar terselubung ( pasar keuangan informasi ), sehingga suku bunga dipasar inipun turun. Ketika penurunan suku bunga itu terjadi, maka tingkatan efektif represi finansialpun berkurang dan selanjutnya memperbesar kekayaan pribadi rumah tangga. Kenaikkan tingkat kredit bank bisa meningkat permintaan agregat atas dasar tiga alasan:
1.      Penurunan suku bunga memperbesar belanja investasi.
2.      Dampak kekayaan memperbesar belanja konsumsi
3.      Penawaran kredit perbankan komersial akan meningkatkan laba bank sentral yang selanjutnya akan serahkan ke pemerintah untuk di belanjakan berbagai barang dan jasa domestik.
Namun, meskipun dampak neto kredit bank terhadap permintaan agregat tidak sepenuhnya dapat di pastikan, kenaikan permintaan itu pada akhirnya akan mendongkrak inflasi kalau kredit bank itu tidak menimbulkan dampak penawaran ( supply effect ). Namun ada beberapa alasan untuk memercayai bahwa kenaikan kredit bank cenderung menaikkan output di Negara-negara berkembang (Hossain, 1995 ):
1.      Pada umumnya, Negara berkembang belum mampu sepenuhnya mendayagunakan stok modalnya. Kenaikan permintaan akan memperbesar kapasitas pendayagunaan itu.
2.      Kalau peluang proyek yang menguntungkan bertambah banyak, maka kredit pun akan meningkat sehingga investasi serta kapasitas produksi perekonomian juga akan bertambah.
3.      Sebagaimana dikemukakan oleh Fry ( 1998 ), dalam perekonomian yang mengalami represi finansial, folume riil kredit bank yang penawarannya terkendala itu cenderung membatasi penyediaan dana untuk modal kerja, sehingga membatasi pula output. Karena, itu kenaikan penyediaan kredit akan memperbesar jumlah modal kerja dan memperlancar proses produksi, paling tidak lama jangka pendek.
Dampak Kenaikan Suku Bunga yang dikendalikan pemerintah terhadap permintaan agregat dan output juga sulit dipastikan. Para pedukung hipotesis McKinnoon-Shau berkeyakinan bahwa peningkatan suku bunga akan memperbesar jumlah tabungan, yang pada gelirannya akan memperbesar pula tingkat penawaran dana-dana pinjaman sehingga selanjutnya akan memperbesar investasi swasta. Sebagai contoh, penerapan kebijakan moneter anti-inflasi dalam perekonomian yang sektor finansialnya tertekan memunculkan observasi seperti yang dikemukakan Kapur ( 1976: 778-9 ) berikut ini :
“Otorita moneter harus mengambil tindakan awal peningkatan suku bunga minimal deposito bagi semua simpanan uang sehingga menurunkan kelebihan penawaran uang melalui peningkatan permintaan terhadap saldo riil. Begitu saldo uang meningkat. Meningkat pula arus kredit riil perbankan, yang akan disusun oleh kenaikkan output riil”.
Dipihak lain, para ekonom neo-strukturalis lebih menekankan pada pentingnya pasar-pasar kredit informal dalam penyediaan modal kerja bagi berbagai perusahaan untuk membeli aneka input variabelnya (tenaga kerja, barang semi-jadi impor, dan sebagainya). Itu berarti biaya kredit merupakan elemen penting dari total biaya variable produksi; perubahan suku bunga akan menyebabkan bergesernya penawaran agregat output riil. Kaum neo stukturalis juga menengkankan kemungkinan behwa kenaikan suku bunga perbankan akan menarik dana-dana dari pasar informal sehingga meningkatkan biaya marginal dana, yang pada gilirannya akan menimbulkan dampak kontraksioner terhadap permintaan dan output. Wijnbergen (1982; 1985) mengambil bukti dari kasus korea selatan guna mendukung klaim tersebut. Berdasarkan studi kasus Filipina, Burkner (1982) juga menyimpulkan bahwa kalau semua kepemilikan asset tidak berubah, maka perubahan deposito perbankan formal dan dana-dana di pasar informal akan saling mengimbangi. Kaum neo-strukturalis lebih jauh juga menyatakan bahwa fenomena itu akan menurunkan keseluruhan penawaran kredit. Hal ini di karenakan perbankan tetap wajib menyimpan sebagian dana depositonya ke bank sentral sementara pasar informal tidak, sehingga jumlah total kredit baru yang dikucurkan perbankan akan lebih sedikit ketimbang penyaluran kredit baru di sektor informal. Namun pandangan ini berbekal asumsi bahwa permintaan kredit relatif tidak elastis terhadap suku bunga (tak terlalu sensitive terhadap perubahan suku bunga). Kapur (1992), sebaliknya menyatakan bahwa total kredit produktif belum tentu turun. Ia mendasarkan pendapatannya atas dasar pertimbangan bahwa pemerintah yang menerima “rezeki nomplok” dari “senioritas”-nya, akan ikut mengupayakan kenaikan basis moneter yang akan tercipta kalau jumlah deposito bertambah. Pemerintah selanjutnya dapat menyalurkan basis moneter tambahan itu untuk membiayai pembangunan atau menambah dukungan dana bagi bank-bank komersial itu sendiri.
Dampak kenaikan rasio cadangan wajib terhadap permintaan agregat juga tidak mudah di pastikan. Dampak suku bunga yang bersifat langsung akan negatif. Mengingat kenaikan rasio cadangan wajib akan menaikkan tingkatan efektif represi finansial, maka hal itu akan menurunkan tingkat permintaan agregat melalui dampak kekayaan. Sebaliknya, kenaikan rasio cadanga wajib akan memperbesar pendapatan pemerintah berkat bertambahnya lama bank sentral.
Kesimpulannya, meskipun ketersediaan kredit cenderung menimbulkan dampak yang bersifat langsung terhadap tingkat permintaan agregat, namun kepastian hubungannya sendiri masih sulit untuk dibuktikan dan sejauh ini belum ada kesepakatan pendapat di kalangan para ekonom mengenai dampak instrument-instrumen lainnya dari kebijakan moneter dalam perekonomian yang sektor keuangannya masih penuh batasan atau tekanan.

D.    Mekanisme Transmisi Umum Kebijakan Moneter
Sejalan dengan kian pentingnya kebijakan moneter, para ekonom pun mulai mempelajari berbagai macam saluran pengaruh kebijakan itu terhadap perekonomian secara keseluruhan. Ada dua kerangka konseptual bagi analisis mekanisme transmisi kebijakan moneter, yaitu: kerangka uang dan kerangka kredit. Keduanya ternyata dapat saling mendukung dan merupakan fokus dalam berbagai penelitian dewasa ini.
Pandangan yang bertumpu pada saluran uang (moneter) mewakili pendakatan tradisional tentang mekanisme transmisi kebijakan moneter. Asumsinya adalah pasar-pasar finansial itu bersifat homogen dan sempurnya. Gangguan moneter hanya akan berpengaruh kalau ada kekakuan nominal dalam harga dan upah. Namun begitu kita mengakui ketidaksempurnaan pasar finansial, maka  inilah yang telah mengembangkan pandanga yang tumpuh pada kredit. Meskipun pandangan pandanga yang bertumpuh pada uang dan kredit sama-sama menyoroti berbagai variabel dari mekanisme transmisi itu, namun pandangan yang bertumpuh pada kredit lebih menekankan arti penting arti penting peran peminjam perbankan dan struktur finansial perusahaan yang dalam praktiknya akan menjadi pelaku transmisi perusahaan yang dalam praktiknya akan menjadi pelaku transmisi pengaruh kebijakan moneter. Ketidaksempurnaan pasar dan ketimpangan informasi di pasar-pasar finansial memunculkan saluran-saluran pengaruh baru yang menjadi wahana kebijakan moneter menimbulkan dampaknya. Saluran-saluran baru itu mengikuti kurs, harga-harga aset dan perkiraan harga. Kekuatan relatif dari masing-masing saluran ini berlainan dari tiap perekonomian, dan berbeda pula di tiap rezin pengaturan kurs maupun struktur kelembagaan dari pasar finansialnya sendiri (Warjiyo dan Agung, 2002).
Sejak akhir 1980-an para ekonom sibuk meneliti mekanisme transmisi kebijakan moneter dari sisi aktiva neraca keuangan bank, khususnya pos kredit bank ke sektor swasta. Kajian tentang proses transmisi dari sisi kredit ini didasarkan pada gagasan bahwa kredit bank bukan merupakan pengganti (subtitusi) sempurna bagi bentuk-bentuk peminjam lainnya. Sekurang-kurangnya bagi sejumlah besar peminjam, pembiayaan di luar kredit bank tidak tersedia. Kalau pun ada, biayanya jauh lebih mahal. Karena di dasarkan agar peran bank dalam perekonomian moneter tidak di batasi hanya sebagai perantara antara penabung dan investor. Bank punya kedudukan menentukan dalam mengatasi ketimpangan informasi antara penyedia dan penerima dana pinjaman (Mishkin, 2007a).

D.1Tinjauan Mekanisme Transmisi dari Sudut Moneter
Pandangan moneter tentang mekanisme transmisi kebijakan moneter berfokus pada agregat moneter, di mana suku bunga jangka pendek mencirminkan kondisi suku bunga jangka pendek ditentukan oleh penawaran dan permintaan uang. Perubahan-perubahan pada suku bunga jangka pendek mencerminkan kondisi suku bunga dalam jangka yang lebih panjang melalui struktur pengaturan pinjaman, yang selanjutnya memengaruhi pula tingkat pembelanjaan dan output. Dalam kerangka ini, tindakan-tindakan kebijakan moneter meliputi pula perubahan deposito perbankan melalui pengubahan syarat cadangan wajib di bank sentral. Karenanya, kebijakan moneternya berfokus pada sisi pasiva neraca keuangan perbankan komersial maupun bank sentral. Asumsi penting yang mendasari tinjauan moneter tentang mekanisme transmisi tinjauan ini adalah uang tidak memiliki pengganti yang sempurna. Karenanya, para pelaku ekonomi tidak sepenuhnya bisa mengandalkan perubahan komposisi aset finansial demi melindungi diri dari dampak-dampak yang ditimbulkan oleh suatu kebijakan moneter teradap suku bunga jangka pendek akan dimungkinkan, dan kadarnya tergantung pada sejauh mana kadar/tingkatan substitusi uang itu sendiri.

D.2Saluran Suku Bunga
Seperti dikemukakan di atas, suku bunga merupakan saluran tradisional bagi mekanisme transmisi kebijakan moneter. Bank-bank sentral mengubah suku bunga berjangka “sangat pendek”melalui operasi-operasi pasar terbuka. Perubahan-perubahan suku bunga jangka pendek itu kemudian menjalar ke suku bunga jangka menengah dan panjang. Seperti telah dibahas dalam bab-bab terdahulu, yang diubah bank sentral adalah suku bunga jangka pendek nominal, bukan suku bunga riil. Dengan asumsi upah dan harga-harga bersifat kaku (tidak mudah berubah), maka perubahan suku bunga nominal itu kemudian akan mengubah suku bunga riil. Selanjutnya, perubahan suku bunga riil akan memengaruhi semua komponen permintaan agregat.
Arti penting dampak perubahan suku bunga terhadap permintaan agregat masih menjadi bahan perdebatan. Perhatikanlah bahwa saluran suku bunga, dari kebijakan moneter berfungsi terutama atas dasar asumsi kekakuan harga-harga dalam jangka pendek dan tidak adanya perubahan perkiraan inflasi sehingga perubahan suku bunga nominal jangka pendek akan ditransmisikan ke berbagai suku bunga (jangka menengah dan panjang, serta ke suku bunga rill). Karena investasi biasanya melibatkan pembuatan keputusan ekonomi berjangka panjang, maka patut dipertanyakan apakah keputusan investasi jangka panjang itu di dasarkan pada perubaha-perubahan suku bunga rill jangka pendek yang muncul akibat kekakuan harga-harga. Menurut hipotesis perkiraan rasional (rasio expectation hiypothesis), perkiraan inflasi cenderung berorientsi ke depan (forward-looking) dan di dasarkan pada informasi yang tersedia mengenai perkembangan sekarang dan di masa mendatang menyangkut perekonomian secara keseluruhan, baik di sektor moneter maupun sector riil. Jika perkiraan inflasi desesuaikan dengan cepat dalam perekonomian yang tingkat inflasinya tinggi, maka perubahan-perubahan suku bunga nominal takkan menimbulkan perubahan suku bunga riil, kecuali hanya untuk sementara.
Keputusan moneter muktakhir menyatakan bahwa pasar-pasar finansial sepenuhnya efisien. Sebagian besar pelaku di pasar finansial dapat memperoleh dan memnfaatkan informasi dari berbagai sumber. Konsekuensinya, perkoraan inflasi sama dengan inflasi aktual rata-rata. Oleh sebab itu, persoalannya adalah investasi seperti apa yang tetap peka terhadap perubahan-perubahan temporal pada suku bunga riil agar investasi itu dapat disesuaikan dengan kebijakan moneter yang tak terduga. Investasi jangka panjang tidak bisa banyak di ubah oleh perusahaan suku bunga nominal. Tingkat belanja rumah tangga atas berbagai jenis barang tahan lama tampaknya juga tidak terlalu peka terhadap perubahan-perubahan suku bunga jangka pendek. Kalau suku bunga di tentukan oleh pasar dan tetap fleksibel, maka rumah tangga takkan memutuskan untuk membeli barang-barang tahan lama dengan memakai dana pinjaman yang masa jatuh temponya lebih lama. Itu perubahan-perubahan suku bunga berjangka pendek yang diakibatkan oleh penerapan kebijakan moneter tidak akan terus berlangsung sampai pada berakhirnya masa jatuh tempo pelunasan pinjama bagi pembiayaan bahan tahan lama tersebut.
Singkatnya, proses transmisi kebijakan moneter melalui saluran suku bunga tidak bersifat langsung. Efektifitasnya tidak pasti dan mungkin terbatas. Investasi dan konsumsi adalah keputusan berjangka panjang yang didasarkan pada berbagai faktor seperti profitabilitas, kekayaan, dan risiko. Perubahan-perubahan suku bunga rill hanya memengaruhi keputusan-keputusan konsumsi dan penawaran tenaga kerja sehingga hanya mengubah posisi kekayaan relatif penyedia dan pemakai pinjaman. Penerapan kebijakan moneter biasa membawa perubahan terhadap suku bunga riil, tetapi hanya dalam jangka pendek, itu pun kalau harga-harga bersifat kaku dan perkiraan inflasi tidak diubah dengan cepat sebagai penyesuaian terhadap keterbatasan atau kesalahan informasi di pihak rumah tangga dan infestor.
Dalam kondisi pasar-pasar finansial yang efisian dan terderegulasi, sulit untuk mebayangkan rumah tangga dan investor tetap mengabaikan konsekuensi kebijakan moneter tadi sampai-sampai mereka membuat keputusan konsumsi dan investasi berjangka panjang hanya atas dasar perubaha-perubahan riil berjangka pendek yang ditimbulkannya. Apa yang paling penting adalah suku bunga riil; hal ini tidak bisa di buat menjauhi kondisi ekuilibriumnya dalam waktu lama (Boschen, 1992).

D.3Saluran Kurs
Kurs adalah saluran penting berikutnya bagi transmisi kebijakan moneter, pada tahun 1960-an , Mundell (1962) merumuskan bahwa tindakan kebijakan moneter memengaruhi kurs, yang lantas memengaruhi output dan inflasi. Ia menjelaskan bahwa dengan asumsi adanya mobilitas permodalan yang sempurna, ada hubunga sederhana antara kurs dan suku bunga jangka pendek. Perhatikan rumus berikut:
               NER/NER                                                 (8.6)
Adapun  adalah suku bunga domestik,  melambangkan suku bunga luar negeri, sedangkan NER/NER adalah perkiraan tingkat depresiasi mata uang domestik terhadap valuta asing. Persamaan (8.6) memaparkan kondisi ekuilibrium di pasar valuta asing yang memunculkan keterkaitan antara suku bunga domestik, suku bunga luar negeri dan perkiraan perubahan kurs nominal. Setiap perubahan pada masing-masing variabel ini memengaruhi keseimbangan atau ekuilibrium di pasar valuta asing. Sebagai contoh kenaikan suku bunga luar negeri akan membuat investasi di negara itu menjadi lebih menarik ketimbang investasi di dalam negeri sehingga dapat memicu pelarian modal yang pada gilirannya mendepresiasikan mata uang domestik. Kenaikan suku bunga domestic akan memunculkan rentetan dampak sebaliknya terhadap kurs kalau hal itu memicu arus masuk modal.
Keterkaitan antara pertumbuhan penawaran uang dan kurs dapat di pahami melalui apa yang kini di kenal sebagai pendekatan moneter terhadap pembentukan kurs (monetary approach to exchange rate parity, PPP). Berikut ini:
                               P = NER *                                                              ( 8.7 )
Rumus ini dapat ditulis kembali menjadi:
                               NER = P/                                                                 ( 8.8 )
Persamaan (8.8 ) mengungkapkan hubungan antara kurs dan tingkat harga domestik. Pesan pokoknya adalah semakin tinggi tingkat harga domestic ketika di bandingkan dengan harga-harga diluar negeri, maka akan semakin tinggi pula kurs mata uang domestic terhadap valuta asing, dan kondisi ini akan bertahan sesuai dengan prinsip paritas pasar uang dalam dan luar negeri.
Karenanya, kondisi-kondisi di pasar uang domestic dan luar negeri dapat digunakan untuk mempertautkan harga-harga domestik dan luar negeri dengan tingkat-tingkat permintaan dan penawaran uangnya. Rumusan untuk kondisi di pasar uang dalam dan luar negeri adalah sebagai berikut:
                        M/P = L ( y, i )                                                                   ( 8.9 )
                     /  = ( yf,  )                                                              (8.10)
Persamaan ( 8.9) dan ( 8.10) mengisyaratkan bahwa:
                   P = M/L (y, i )                                                                         (8.11)
                  = ( yf, )                                                                         (8.12)
Persamaan ( 8.8 ) dapat ditulis kembali menjadi:
                   NER = ( M/  ) .  ( … )/L ( … )                                        ( 8.13)
Persamaan ( 8.13 ) mengisyaratkan bahwa, ceteris paribus ( jika hal-hal lainnya tidak berubah ), kenaikan penawaran uang domestik akan menimbulkan depresiasi terhadap kurs yang ada. Namun ingan bahwa kurs riil ( rer ) didefinisikan sebagai berikut:
                   rer = NER . /P                                                                    (8.14)
Kurs riil memengaruhi arus-arus perdagangan dan permodalan, yang pada gilirannya memengaruhi output riil. Oleh karena itu, sama seperti pada saluran suku, persoalan pokoknya adalah bagaimana kurs riil dapat diubah melalui perubahan kurs nominal. Hal ini lagi-lagi bertumpu pada gagasan kekakuan harga yang menjadi tumpuan rembetan depresiasi nominal mata uang domestik ke depresiasi riil. Yang sudah jelas adalah perubahan kurs nominal dapat mengubah kurs riil untuk sementara, namun kecil kemungkinan depresiasi seperti itu bias bertahan lama karena harga-harga domestik sendiri cenderung berubah mengikuti ekspansi moneter yang juga memicu depresiasi kurs nominal.
Arus-arus perdagangan dan permodalan selalu menyesuaikan diri terhadap pergerakan kurs riil, meskipun ada selang waktunya. Namun, perubahan kurs riil yang bersifat sementara takkan membawa perubahan besar besar terhadap arus perdagangan dan permodalan. Kurs riil itu sendiri ditentukan oleh berbagai faktor , dan perubahan kurs nominal melalui penerapan kebijakan moneter tidak termasuk di dalamnya ( Edwards, 1989a; 1989b; Hutton, 1992; Neary, 1988 ). Kesimpulannya, meskipun kebijakan moneter bisa memengaruhi kurs nominal, dampaknya dalam jangka menengah dan panjang terhadap arus-arus perdagangan dan permodalan, sehingga output tidak akan signifikan.

D.4Kedudukan Harga-Harga Aset Dalam Transmisi Moneter
Sejak akhir 1980-an pergeraka harga aset kian dipentingkan sebagai tolok ukur dalam mengevaluasi kegiatan ekonomi secara keseluruhan. Penerapan kebijakan moneter memengaruhi kekayaan dan tingkat hasil melalui pengaruhnya terhadap harga-harga aset. Harga asset itu sendiri berorientasi kedepan. Besarnya mencerminkan perkiraan tentang aruspendapatan dimasa mendatang dan memuat pula informasi mengenai inflasi dan /atau suku bunga.
Teori q Tobin tentang dampak kebijakan moneter terhadap investasi dan kekayaan menonjolkan keduanya sebagai saluran penting dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter. Menurut teiri q Tobin,ekspansi moneter mengubah perekonomian melalui dampaknya terhadap harga ekuitas (surat-surat berharga). Sebagai contoh, kalau nilai q lebih besar dari pada 1 itu berarti harga pasar dari satu perubahan relatif tinggi jika ditilik dari biaya permodalannya sehingga perusahaan itu dapat menerbitkan saham baru guna menambah cadangan modalnya. Jika hal itu dilakukan, maka belanja infestasi akan meningkat karena perusahaan tersebut membeli lebih banyak peralatan modal lebih banyak ketimbang saham baru yang diterbitkannya. Sebaliknya, investasi akan turun kalau nilai q lebih kecil dari pada 1. Ekspansi (kontraksi) moneter dapat memengaruhi infestasi dan output melalui dampaknya terhadap harga-harga asset (Mishkin, 2007a).
Pergerakan harga aset juga menimbulkan pengaruh kekayaan (wealth effect) terhadap konsumsi. Kalau bank sendiri menerapkan kebijakan moneter kontraksioner yang menaikkan suku bunga, maka harga-harga aset akan turun. Begitu pula sebaliknya, kenaikan penawaran uang (penerapan kebijakan moneter ekspansioner) akan menurunkan suku bunga dan meningkatkan harga-harga aset. Modl siklus hidup ando-Modigliani menunjukkan bahwa pembelanjaan konsumsi ditentukan oleh sumber daya konsumen seumur hidupnya. Ketika harga-harga asset turun, tungkat kekayaan dan konsumsi akan ikut turun. Studi-studi empiris menunjukkan bahwa kemerosotan harga-harga aset di jepang (misalnnya saham dan tanah) memberi dampak negatif terhadap konsumsi, dan hal ini berperan penting bagi meruyaknya resesi yang berlangsung dinegara itu selama 1990-an (IMF’s World Economic Outlook, berbagai seri terbutan).

D.5Tinjauan Kredit Dalam Mekanisme Transmisi
Kepustakaan terbaru tentang kebijakan moneter mengungkapkan bahwa perbankan memainkan peran krusial dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter. Tinjauan tentang mekanisme transmisi yang menekankan aspek kredit kini. Kian penting, baik di Negara-negara berkembang maupun Negara-negara maju. Anda tentu masih ingan dalam tinjauan yang menekankan aspek uang (moneter), dijelaskan bahwa bank-bank beroperasi melalui sisi pasiva. Artinya, perbankan memainkan peran penting dalam menciptakan uang (likuiliditas) malalui pengadaan deposito (pasiva). Besar kecilnya deposito perbankan akan berubah sesuai dengan strata cadangan wajib di bank sentral, sementara ketentuan cadanga wajib ini merupakan bagian dari kebijakan moneter bank sentral. Lebih lanjut, sisi aktiva akan disesuaikan dengan sisi pasiva. Karenanya, bank sentral dapat memanfaatkan instrument-instrumen kebijakan moneternya, misalnya pengaturan tingkat diskonto dan syarat cadanagn wajib, untuk mengubah tingkat penawaran uang. Sebagai contoh, kenaikan syarat cadangan wajib akan menurunkan kemampuan bank dalam menyediakan deposito akibat susutnya nilai penggandaan. Dengan asumsi harga-harga bersifat kaku, maka hal itu selanjutnya akan menurunkan saldo rill dan menaikkan suku bunga. Kenaikan suku bunga selanjutnya menurunkan investasi dan output.
Bernanke (1983; 1993a; 1993b) dan para penulis pendampingnya telah menjelaskan arti penting kredit dalam perekonomian. Bernanke dan Blinder (1988a; 1988b) memaparkan arti penting peminjaman perbankan dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter. Asumsikan bank sentral menerapkan kebijakan moneter kontraksioner yang menurunkan cadangannya sendiri maupun deposito perbankan. Kalau penyusunan dana deposito itu tidak diimbangi oleh dana-dana lain yang tidak tersentuh oleh ketentuan cadangan wajib atau diikuti oleh penurunan sebanding dalam peredaran surat berharga, maka kredit perbankan pasti akan turun. Dampak selanjutnya bisa berupa penurunan investasi, kalau andalan investasi memang adalah kredit perbankan. Dalam praktiknya, pinjaman bank memang merupakan sumber utama pembuatan kegiatan bisnis dibanyak Negara berkembang. Karenanya, penurunan kredit perbankan akan langsung diikuti oleh penurunan investasi dan kegiatan ekonomi pada umumnya. Di Indonesia, pinjaman bank sangat pinting dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter (Agung, 1998; Goeltom, 2008). Ada dua kondisi yang menentukan keberadaan saluran peminjaman bank yaitu:
1.      Kemampuan bank sentral membatasi penawaran dana pinjaman perbankan.
2.      Pinjaman perbankan bukan merupakan pengganti sempurna bagi sekuritas atau surat-surat berharga, paling tidak bagi sebagian peminjam.
Bernanke dan Gertler (1995) berpendapat bahwa kondisi pertama patut dirgukan secara enpiris. Adalam rangka membatasi kemampuan perbankan menyalurkan kredit setelah berlangsungnnya kontraksi moneter yng menyusutkan deposito perbankan, bank-bank perlu dibatasi kemampuannya dalam menerbitkan bentuk-bentuk pasiva lainnya. Dalam kalimat lain, semua pasiva bank (kecuali modal) harus dikenai syarat cadangan wajib. Ini merupakan asumsi restriktif. Sebagai contoh, pemerintah sengaja menerapkan aturan yang membatasi bank menerbitkan saham baru guan menambah modal (capital eduquacy regulation) berdampak terhadap kemauan bank dalam menyalurkan kredit. Kondisi kedua secara umum dapat terpenuhi dikebanyakan Negara berkembang. Akibat ketimpngan informasi di pasar kredit ini sehingga para pencari pinjaman tetap saja tergantung kepada perbankan.
Tinjauan kredit dalam kebijakan moneter ini, karenanya, membawa dua implikasi penting bagi para pembuat kebijakan:
1.      Sejumlah ekonomi menyatakan bahwa kredit bisa menjadi instrument unggulan kebijakan moneter karena kredit sendiri merupakan indicator utama kegiatan ekonomi. Bernanke dan Blinder (1988a; 1988b) mengingatkan kalau diingat dampaka kebijakan moneter terhadap kemampuan sistem perbankan dalam menyalurlkan kredit, maka kredit dapat menjadikan variabel antara kalau besaran agregat moneter tidak bisa diandalakan. Hal itu memang terjadi kalau permintaan uang tidak stabil. Dalam lingkungan finansial yang sudah terderegulasi, para pembuat kebijakan akan dapat memprediksi inflasi dan pertumbuhan ekonomi dalam kurun waktu yang lebih panjang dengan cara mengamati perkembangan kredit, bukannya besaran agregat moneter.
2.      Saluran kredit dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter memungkinkan pemhaman yang labih baik mengeni hakikat dan sifat-sifat siklus bisnis. Menurut Bernanke, dkk (1999a), serangkaian penelitian yang dilaksanakan pada penghujung 1990-an menunjukkan bahwa dampak kejutan kebijakan moneter terhadap perekonomian cenderung kian kuat dan bertahan lama ketimbang yang diprediksikan dalam model-model tradisional. Saluran kredit dpat membantu kita memahami ketimpangan itu, dan di dalamnya diyakini terdapat mekanisme penguat tertentu dimana berbagai kesulitan disektor riil pada akhirnya akan menjalar ke pasar kredit. Dampak lanjutannya adalah penurunan investasi yang kian melumpuhkan perekonomian. Lebih jauh lagi, kejutan kredit perbankan juga memberi dampak besar terhadap kegiatan ekonomi secara keseluruhan. Perubahan aturan dan kekacauan disektor finansial akan mendorong perbankan kian hati-hati dalam menyalurkan kredit, dan hal ini jelas turut memperketat kegiatan (Blinder dan Stiglitz, 1983; Khan, 2003).

D.6Saluran Neraca Keuangan
Gagasan dasar yang melatar belakangi konsepsi saluran neraca keuangan dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter adalah bahwa kebijakan moneter itu dapat memengaruhi kekuatan finansial (atau kekayaan bersih) para pemakai pinjaman. Kebijakan moneter juga dapat memengaruhi biaya-biaya pemakaian dana pinjaman dari sumber eksternal yang tentunya memengaruhi keputusan investasi para pemakai pinjaman. Kalau bank sentral menerapkan kebijakan moneter kotraksioner yang menaikkan suku bunga, maka hal ini akan memengaruhi posisi keuangan para pemakai pinjaman dalam dua cara yaitu :
1.      Kebijakan itu menurunkan harga-harga aset, yang juga menurunkan nilai agunan milik peminjam dana, sehingga kemampuan meminjamnya pun berkurang.
2.      Kenaikan suku bunga memperbesar biaya pinjaman jangka pendek dan pinjaman terpakai atau pinjaman mengambang sehingga menyusutkan arus kas.
Masalah-masalah moral, niat menghindari kesulitan tak terduga dan adanya hokum kebangkrutan, akan membuat para peminjam yang kekayaan netonya rendah menghadapi risiko kebangkrutan yang lebih besar, apalagi peminjaman baru kian sulit diperoleh karena para penyedia dana juga semakin berhati-hati dalam memilih penerima dana pinjaman. Sebaliknya, bagi para peminjam yang kekayaan netonya masih besar, maka nilai agunan yang dimilikinya kian besar dan biaya pemantauan dipihak penyedia dana akan turun sehingga ia akan kian mudah memperoleh pinjaman baru. Dalam situasi sepeti ini, biaya pinjaman yang dibebankan oleh pemilik dana akan bervariasi , tergantung pada kelayakan calon peminjamnya, karena masing-masing peminjam akan membebankan biaya pemantauan kredit dan evaluasi proyek yang berlainan pula. Hal ini mengindikasikan bahwa ketimpangan informasi akan membuat pembiayaan internal (dana sendiri) untuk berbagai proyek baru akan lebih murah ketimbang pembiayaan eksternal. Penerapan kebijakan moneter memengaruhi bobot relatif antara pembiayaan internal dan eksternal tersebut. Kontraksi (ekspansi) moneter meningkatkan (menurunkan) kesenjangan antara pembiayaan internal dan eksternal. Dampaknya pun pada akhirnya akan menyentuh ketingkat investasi dan output (Mishkin, 2007a).

E.     Permintaan Uang Dan Transmisi Kebijakan Moneter
Fungsi permintaan uang yang stabil merupakan syarat penting bagi kelancaran transmisi dampak perubahan penawaran uang terhadap belanja agregat. Dalam kepustakaan teoritis mutakhir, ada tiga kelompok model permintaan uang yang paling dominan. Yakni model-model teori permintaan persamaan tunggal (single equation demand theory models), model-model yang berbasis pada teori portofolio (portoolio theory models) serta model-model yang bersumber dari teoru inventori (inventory theory models). Model-model teori permintaan khas aliran ilmu ekonomi Chicago merumuskan fungsi permintaan uang dengan cara yang sama seperti perumusan fungsi permintaan untuk barang-barang tahan lama lainnya. Penegasan kembali teori kuantitas uang Friedman (1956) merupakan inspirasi intelektual bagi model ini. Adapun model-model teori portofolio terutama dikembangkan oleh aliran ilmu ekonomi Yale. Gagasan dasarnya sendiri dicetuskan oleh J.M. Keynes yang selanjutnya dikembangkan oleh Tobin (1958). Dalam model-model ini, permintaan uang dianalisis dari  sudut pemilihan portofolio atau sekumpulan aset dengan penekanan pada perhitungan risiko dan perkiraan hasil dari masing-masing jenis aset. Sedangkan pendekatan teoritis inventori yang berokus pada permintaan uang untuk keperluan transaksi dikembangkan oleh Baumol (1952) dan Tobin (1956), dilanjutkan oleh Feige dan Pearce (1977). Pendekatan ini berfokus pada kebutuhan manusia memiliki uang tunai guna mengatasi perbedaan antara arus pendapatan dan arus pembelanjaan (saat manusia merasa perlu berbelanja hampir selalu berbeda dengan saat ia menerima pendapatan). Model ini secara rinci menghitung besar kecilnya kebutuhan akan uang berdasarkan ungsi biaya transaksi, di mana di dalamnya termasuk pula perhitungan atas biaya inventori uang alias biaya pencadangan/ penyimpanan uang untuk keperluan berjaga-jaga (inventory holding costs) serta biaya perantaraan (brokerage costs).
Pendekatan portofolio terhadapvpermintaan uang kurang cocok untuk kebanyakan negara berkembang yang belum memiliki pasar modal yang sudah berkembang dengan baik sehingga tidak memiliki perdagangan aktif atas berbagai macam aset inansial dalam dan luar negeri. Untuk negara-negara berkembang, permintaan uang diyakini bersumber dari motif transaksi. Karenanya, teori permintaan transaksi Baumol-Tobin lebih cocok digunakan dalam perekonomian demikian. Namun, pendekatan teoritis inventori (inventory theoretic approach) terlalu ketat rinciannya dan seri data tentang biaya perantaraan dan berbagai macam biaya transaksi lainnya sulit diperoleh sehingga pendekatan ini tidak praktis untuk digunakan. Lagipula, dalam kenyataannya, bahwa fungsi utama uang untuk keperluan transaksi tidaklah berarti bahwa teori yang lebih umum tentang permintaan uang tidak bisa diterapkan di negara-negara berkembang. Seperti dikemukakan Laidler (1993) teori permintaan uang didasarkan pada teori permintaan yang lebih umum dan secara logis tidak bertentangan dengan praktik penggunaan uang terutama untuk keperluan transaksi. Hal itu juga tidak berlawanan dengan rumusan bahwa uang merupakan pagar teraman memperkecil resiko yang terkandung dalam kepemilikan aset-aset lain. Kalau dunia ini serba pasti, maka alasan kepemilikan uang tunai dapat diperas menjadi dua saja, yakni untuk memperlancar konsumsi dan alat untuk memperoleh penghasilan (bunga). Namun, dalam praktiknya dunia ini serba tidak pasti, apalagi perekonomian negara-negara berkembang, sehingga masyarakatnya selalu perlu memegang uang tunai untuk keperluan darurat (Friedman, 1957). Dari sekian banyak jenis kekayaan, uang senantiasa merupakan aset yang menarik bagi semua pemilik kekayaan karena kemudahannya ditukarkan sehingga bisa digunakan untuk memperoleh apa saja (Friedman dan Schwartz, 1963a). Itu sebabnya model-model berbasis teori permintaan aliran ilmu ekonomi Chicago a la riedman paling lazim digunakan dalam berbagai studi empiris tentang permintaan uang, baik itu di negara maju maupun berkembang.

F.      Stabilitas Permintaan Uang
Stabilitas permintaan uang merupakan masalah yang bolak-balik muncul dalam teori dan aplikasi kebijakan makroekonomi. Suatu ungsi permintaan uang yang stabil akan memenuhi berbagai syarat yang diperlukan agar uang memberikan pengaruh yang paling bisa diprediksi terhadap perekonomian secara keseluruhan. Seandainya fungsi permintaan uang itu stabil, maka bank sentral akan memiliki kontrol penuh terhadap penawaran uang, dan hal itu akan menjadi instrumen yang sangat berguna bagi kebijakan ekonomi pada umunya. Adapun pengertian fungsi permintaan uang menurut Friedman (1969a: 155) :
hal penting yang berikutnya harus di pertimbangkan dalam teori dan kebijakan moneter adalah apakah permintaan uang (money demand) bisa diperlakukan sebagai fungsi yang cukup stabil atas sejumlah variabel berangka kecil, dan apakah fungsi ini bisa dirinci secara empiris dan cukup akurat. Mengenai apakah fungsi itu menyangkut suku bunga tertentu atau sehimmpunan kemungkinan suku bunga tertentu tidak terlalu penting. Kalau elastisitas suku bunganya tidak nol, pasti akan ada pergerakan di sepanjang fungsi itu yang mudah ditafsirkan sebagai tanda-tanda instabilitasnya”.
Dalam konteks empiris, gagasan ungsi permintaan uang yang stabil mensyaratkan sekurang-kurangnya tiga elemen yaitu :
1.      Hubungan permintaan uang yang dapat dengan mudah diprediksi secara statistik yang diukur melalui :
a)      Perangkat pengukuran statistik biaya, misalnya R2
b)      Koefisien estimasi yang cukup rinci, maksudnya yang nilai-nilai t-nya tinggi
c)      Bisa memprediksi secara akurat berdasarkan of sample
2.      Adanya fungsi permintaan uang yang stabil dengan faktor-faktor penentu yang relatif sedikit. Hubungan ini mensyaratkan adanya pemahaman atas berbagai macam variabel untuk keperluan verifikasi, sehingga tidak dapat diprediksi
3.      Variabel-variabel yang untuk keperluan argumentasi, dapat mempertautkan tingkat pembelanjaan dan aktivitas ekonomi pada umunya disektor rill.
  
BAB III
KESIMPULAN
Dari materi diatas dapat disimpulkan bahwa adanya berbagai masalah yang berkaitan dengan mekanisme transmisi kebijakan moneter di negara-negara berkembang. Melalui kajian tentang mekanisme transmisi menurut aliran klasik VS keynesian, kita telah mengetahui bahwa untuk negara-negara berkembang, rumusan klasik ternyata lebih sesuai. Kita tahu pula bahwa dalam perekonomian yang sektor finansialnya masih tertekan, dimana suku bunga ditentukan  dengan keputusan administratif dan penjatahan kredit merupakan komponen pokok kebijakan moneter, ketersedian kredit menimbulkan dampak langsung dan segera terhadap belanja dan output. Mekanisme transmisi dalam perekonomian dengan sektor represi finansial, berikut tinjauan historis tentang evolusi kebijakan moneter dan mekanisme kerjanya di negara-negara berkembang. Pandangan yang bertumpu pada uang dan kredit merupakan kerangka analisis yang penting untuk memahami mekanisme transmisi kebijakan moneter.
Elastisitas pendapatan dari permintaan uang sempit (narrow money) di kebanyakan negara berkembang berkisar pada angka 1. Dalam kasus-kasus luar biasa, hal itu mencerminkan lebih rentahnya  kadar monettisasi dalam perekonomian yang bersanglutan, serta kurangnya variasi aset finansial yang tersedia. Implikasinya,permintaan uang tidak selalu bertolak dari kebutuhan bertransaksi. Disebagian besar negara berkembang yang tingkat inflasinya relatif tinggi, besar-kecilnya angka inflasi ternyata lebih mencerminkan besar-kecilnya biaya oportunitas (opportunity cost) menyimpan uang tunai dari pada besar –kecilnya suku bunga.
Dalam perekonomian yang sektor finansialnya tertekan, ketiadaan pasar modal yang sudah berkembang dengan baik mengakibatkan operasi-operasi pasar terbuka, yang menjadi andalan kebijakan moneter berbasis prinsip kehati-hatian, menjadi tidak begitu efektif. Dalam perekonomian seperti ini, mekanisme transmisi kebiakan moneternya lebihmenyerupai penggambaran para ekonom klasik tertimbang kaum keynesian. Implikasinya, perubahan-perubahan penawaran uang cenderung berdampak langsung terhadapbelanja agregat, sehingga mempengaruhi puls tingkat harga. Namun apa saja dampak neto dari perubahan suku bunga yang diatur pemerintahan terhadap permintaan agregat daram perekonomian yang secara finansial tertekan masih diperdebatkan. Selama ini, permintaan uang di negara-negara berkembang secara umum dapat dikatakan stabil, meskipun setelah dilakukannya liberalisasi finansial. Hanya dalam jangka pendek, fungsi permintaan uang menjadi kurang stabil setelah dilakukannya liberalisasi finansial. Hal ini lebih mencolok di negara-negara di mana pembukaan neraca transaksi berjalan pada neraca pembayarannya mengakibatkan  subtitusi mata uang.
Instabilitas jangka pendek fungsi permintaan uang membawa implikasi bahwa kebijakan moneter yang berbasis prinsip kehati-hatian sulit diandalkan sebagai piranti manajemen makroekonomi dalam jangka pendek. Sebaliknya, stabilnya fungsi permintaan uang jangka panjang dan fakta bahwa dalam jangka panjang penawaran uang mempengaruhi tingkat harga, bukannya output, mengisyaratkan bahwa kebijakan moneter seharusnya difokuskan untuk mengendalikan inflasi dalam jangka panjang.

 
DATAR PUSTAKA
Akhand Akhtar Hossain. 2010. Bank Sentral Dan Kebijakan Moneter Di Asia-Pasifik.
                        Rajawali Pres : Jakarta.

No comments: