16 January 2013

Sikap dan Perilaku Mahasiswa


Sikap dan Perilaku Mahasiswa

Mahasiswa sebagai bagian dari generasi muda yang juga merupakan warga negara hendaknya memberikan rasa percaya pada masyarakat, bahwa merekalah yang menggantikan tongkat estafet kepemimpinan bangsa ini di kemudian hari. Peran mahasiswa sebagai agent of changes tidak diragukan lagi, sebab di negara mana pun di dunia ini, mahasiswa tampil sebagai pionir pembaharuan dalam suatu negara, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, mahasiswa harus memiliki sikap dan perilaku yang positif. Mahasiswa harus memiliki sikap dan perilaku kreatif, kritis, kooperatif, dan etis. Sikap dan perilaku ini sangat dibutuhkan untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat di era global.

*      Sikap dan Perilaku
Kreatif dan Kritis Sikap dan perilaku kreatif dan kritis dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu: proses, pribadi, lingkungan, dan produk. Dilihat dari proses, mahasiswa diharapkan mampu melaksanakan tugas-tugas yang sifatnya divergen, yang ditandai dengan adanya ketertarikan untuk berdiskusi, mampu menyelesaikan masalah, mampu menyelesaikan tugas, mampu bekerjasama, dan mampu menyelesaikan persoalan yang bersifat menantang.
Selain itu, mahasiswa juga harus mampu mengidentifikasi dan memecahkan masalah serta ada kebaruan dalam solusi yang ditawarkan.Dilihat dari sudut pribadi, mahasiswa diharapkan memiliki komitmen yang tinggi terhadap tugas yang menjadi tanggung jawabnya yang ditandai dengan disiplin dan daya juang yang tinggi. Dilihat dari aspek produk, mahasiswa diharapkan dapat menghasilkan karya/produk (baik konsep maupun benda) yang inovatif dan ditandai kebaruan (novelty), kemenarikan, dan kemanfaatan.

*      Kooperatif
Sikap kooperatif terkait dengan kemampuan untuk berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan kelompok yang ditandai dengan keinginan untuk berkontribusi dalam kelompok, tidak mendominasi kelompok, dan memberi kesempatan orang lain untuk berpartisipasi. Sikap kooperatif juga terkait dengan kemampuan berkomunikasi yang ditandai sikap asertif (mampu menyampaikan pikiran, perasaan, dan keinginan tanpa merugikan pihak lain); mampu berkomunikasi secara lisan, tertulis, verbal, nonverbal secara jelas, sistematis tidak ambigu; menjadi pendengar yang baik; merespon dengan tepat (sesuai dengan substansi dan caranya); dan dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dengan baik.
Selain itu, sikap kooperatif juga terkait dengan kemampuan membangun sikap saling percaya (trust). Sikap ini ditandai dengan adanya komitmen dan disiplin yang bersifat terbuka dalam menerima pendapat orang lain (openness), berbagi informasi (sharing), memberi dukungan (support) dengan cara elegant dan gentle, menerima orang lain (acceptance) dengan tulus, terampil mengelola konflik, mampu mengubah situasi konflik menjadi situasi problem solving, serta jeli dalam mengkritisi ide/gagasan dari orang lain dan bukan mencela orangnya (personal).

*      Etis
Sikap etis dalam etika pergaulan baik akademik maupun dalam kehidupan sehari-hari ditandai dengan sikap jujur, berpikir positif, bertatakrama, dan taat hukum. Sikap jujur ditandai dengan tidak melakukan plagiat, berani mengakui kesalahan dan menerima diri apa adanya, tidak ragu-ragu mengapresiasi orang lain, tidak melakukan pemalsuan (termasuk tanda tangan presensi kuliah, pembimbingan, dan urusan administrasi lainnya), membangun dan mengembangkan sikap saling percaya di antara sivitas akademika, serta mampu menyampaikan pendapat sesuai dengan fakta (data).

Berpikir positif ditandai dengan adanya sikap adil dan objektif (tidak apriori terhadap orang atau kelompok lain), toleransi/apresiasi (menerima dan menghargai keragaman atau perbedaan, termasuk perbedaan pendapat), dan dapat bekerjasama dengan semua orang (tanpa melihat perbedaan latar belakang suku, agama, ras, atau golongan). Sikap bertatakrama ditandai dengan bertutur kata santun yang tetap berpikir kritis (santun dalam berargumen, misalnya ditunjukkan dengan penggunaan istilah, salam, maaf, permisi, terima kasih); berpenampilan dan berperilaku sopan baik dalam tingkah laku maupun tatacara berpakaian (bersih, rapi, dan atau menutup aurat bagi yang merasa perlu); serta menghormati tradisi serta norma masyarakat lokal/setempat.
Sikap taat hukum ditandai dengan sikap dan perilaku mematuhi peraturan walaupun secara fisik tidak ada yang mengawasi; tidak mengkonsumsi minuman keras dan atau narkoba; tidak memiliki barang illegal; tidak melakukan perusakan lingkungan hidup (bioetik); menolak budaya instan (jalan pintas) yang mendorong pelanggaran akademik (menyontek, menjiplak tugas/karya tulis, melakukan perjokian, dan suap-menyuap); serta tidak melakukan perbuatan yang merugikan negara, lembaga, atau orang lain.

D. Etika Penampilan
Dalam aktifitas pembelajaran di perguruan tinggi, mahasiswa akan menghadapi
berbagai situasi dan kondisi yang menuntut adanya penampilan yang sesuai dengan status
perguruan tinggi sebagai tempat pembelajaran formal di dunia pendidikan. Mahasiswa akan
lebih banyak berhadapan dengan situasi kampus yang menuntut sikap dan perilaku yang
professional sebagai sosok intelektual dalam bagian civitas akademika perguruan tinggi.
Untuk itu mahasiswa harus mampu menempatkan diri dalam pergaulan di dunia kampus yang
memiliki karakteristik unik dibanding lembaga pendidikan lain, khususnya yang tidak formal.
Mahasiswa diharapkan dapat berfikir dan bersikap ilmiah manakala berhadapan dengan
proses pengajaran yang memberikan banyak ilmu dan pengetahuan sesuai bidang
keilmuannya. Mahasiswa harus bisa menempatkan diri dengan performance yang baik
manakala berdialog dan berdiskusi dengan para pengajar atau staf administrasi dan
mahasiswapun diharapkan dapat memberikan ketauladanan saat berada di lingkungan
masyarakat luar dengan penampilan dan perilaku yang santun sebagai seorang akademisi.
Untuk menjaga dan menuntaskan harapan-harapan ini tidak ada jalan lain bagi
seorang mahasiswa mulai belajar bagaimana harus berpenampilan, berperilaku dan bergaul
dengan sesama civitas akademika sesuai dengan nilai-nilai dunia perguruan tinggi sebagai
lembaga akademik keilmuan dan nilai-nilai social kemasyarakatan yang dipilih di dunia
perguruan tinggi dalam mengembangkan institusinya. Nilai-nilai inilah yang diharapkan
dapat ikut menuntun dan menjadi pedoman mahasiswa untuk berperilaku sehari-hari baik di
dalam kampus maupun di luar kampus. Bahkan nilai-nilai inilah yang akan menjadi control
eksternal jika mahasiswa salah dalam mengambil sikap dan perilaku.
Pada dasarnya performance (penampilan) itu dibagi dua macam, yaitu penampilan
fisik dan penampilan batin. Penampilan fisik dapat dilihat dan diukur. Sedangkan penampilan
batin sebaliknya, sebab merupakan sesuatu yang abstrak. Ada beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam berpenampilan, antara lain yang terkait dengan pakaian,
kesucian/kebersihan dan sikap diri.
1. Islam menetapkan bahwa pakaian yang dikenakan hendaklah menutup aurat. Ulama
berkesimpulan bahwa pada hekekatnya menutup aurat adalah fitrah manusia yang
diaktualkan pada saat ia memiliki kesadaran. Salah satu cara dalam menutup aurat adalah
dengan menggunakan pakaian sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
2. Islam juga menetapkan perlunya menjaga kebersihan/kesucian pakaian dan tubuh serta
keindahannya. Hal ini bukan saja akan menambah baik penampilannya juga akan
memelihara dirinya dari berbagai penyakit. Misalnya mandi, berwudlu, mensucikan
pakaian, membersihkan dan merapikan bagian-bagian tubuh dan sebagainya.
3. Islam juga meminta kita memperhatikan sikap berjalan. Ada yang mengatakan bahwa
perilaku dalam berjalan dapat mencerminkan kondisi psikologis atau kepribadian
seseorang. Islam meminta kita tidak berjalan dengan kesombongan yang ditandai dengan
tidak memperhatikan lingkungan sekitar, tidak menyapa saat bertemu dengan teman atau
orang lain, sulit tersenyum atau bermuka masam.
Disamping itu dalam membahas hubungan dengan penampilan dan pergaulan, Islam
pada dasarnya tidak melarang mentah-mentah pergaulan antara laki-laki dengan peempuan
sebagaimana tidak membiarkan sebebas-bebasnya pergaulan antara laki-laki dan perempuan.
Islam telah memberikan rambu-rambu agar pergaulan yang terjadi antara laki-laki dan
perempuan itu menjadi pergaulan yang sehat dan benar. Di antara rambu-rambu tersebut
adalah:
1. Islam melarang keras berdua-duaan antara laki-laki dengan perempuan yang bukan
muhrimnya, sebab hal ini akan menjadi pemicu terjadinya perbuatan dosa.
2. Islam melarang memandang lain jenis dengan syahwat, sebab pandangan mata
kepada lain jenis yang disertai dengan syahwat adalah pintu pembuka terjadinya
kejahatan.
3. Islam melarang melihat atau mempertontonkan Aurat. Larangan agar tidak melihat
atau memperlihatkan aurat kepada orang lain dimaksudkan agar manusia mampu
menjaga kemulyaan dirinya. Termasuk dalam menjaga aurat adalah memilih mode
dan bentuk pakaian, sebab banyak ditemukan model-model pakaian yang
membungkus aurat akan tetapi justru menonjolkan aurat. Misalnya pakaian-pakain
yang ketat yang menampakkan lekuk-lekuk tubuh pemakainya, atau pakaian yang
memiliki sobekan panjang yang dengan gerakan tertentu dapat terlihat aurat pemakai.
4. Islam mengajarkan agar membudayakan Rasa Malu. Budaya malu yang dimaksudkan
disini adalah malu kepada Allah apabila melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama.

Globalisasi merupakan salah satu tantangan besar yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia, tak terkecuali oleh mahasiswa di seluruh Indonesia. Berbicara mengenai globalisasi, pikiran kita pasti tertuju pada teknologi informasi dan komunikasi yang bersumber dari ilmu pengetahuan. Pertanyaannya adalah, apakah mahasiswa Indonesia mampu untuk bersaing  di era globalisasi ini? Jawabannya, harus mampu! Karena jika tidak, mahasiswa akan gagal dalam peranannya sebagai mahasiswa.
Agen social of change ataupun agen social of control, selama ini sangat baik melekat pada mahasiswa. Sebutan tersebut diberikan kepada mahasiswa atas jasa dan pengorbanannya dalam perjuangan merespon balik segala bentuk kegelisahan masyarakat yang datang dari para elite penguasa. Jika kita melihat sejenak ke belakang dalam runtutan sejarah gerakan mahasiswa, maka bisa kita simpulkan bahwa tanpa peran mahasiswa, maka negara ini tidak akan utuh berdiri dalam persaingan global. Tercetusnya sumpah pemuda menjadi cikal bakal perjuangan para mahasiswa untuk membangun kompetensi diri dan meningkatkan kualitas diri. Sebagai mahasiswa yang dituntut dalam persaingan di era globalisasi ini, sejarah merupakan bahan untuk perenungan dan pembelajaran para mahasiswa kearah yang lebih baik.
Tidak bisa kita sangkal bahwa globalisasi mengantarkan para mahasiswa pada kondisi kehidupan dibawah bayang-bayang apatisme, individualisme, materialisme, serta hedonisme global. Jarang sekali mahasiswa mencoba berpikir tentang persoalan kerakyatan, keagamaan, atau bagaimana konsep memajukan bangsa di era globalisasi ini. Mereka lebih suka diajak bersenang-senang untuk kepentingan pribadi yang bersifat sesaat, seperti kegiatan rekreatif. Maka, mentalitas yang hedonis, individualis, dan sebagainya itu harus diubah kepada jati diri mahasiswa yang mempunyai idealisme yang tinggi. Jika direnungkan, mahasiswa Indonesia harus membekali diri dengan ilmu agama karena penanaman nilai-nilai religius dan moralitas menjadi dasar pembentukan akhlak bangsa. Dan pasti saja dapat menepis pengaruh negatif dari globalisasi. Selain itu, mahasiswa harus kritis dan harus dihadapkan langsung pada persoalan-persoalan kerakyatan.
Di era globalisasi ini, mahasiswa akan menghadapi tantangan yang berat. Persaingan tidak hanya akan terjadi dengan lulusan dalam negeri, tetapi juga dengan luar negeri. Globalisasi menuntut SDM yang berkualitas. Karena itu, mahasiswa harus belajar, belajar, dan belajar! Selain itu, mahasiswa perlu membekali diri dengan kursus atau pelatihan-pelatihan dan berorganisasi, misalnya saja kursus bahasa asing. Dengan kursus tersebut, mahasiswa dapat memiliki keahlian-keahlian yang sangat diperlukan di era globalisasi dan juga dapat mengikuti perkembangan zaman. Berorganisasi pun sangat penting karena dalam berorganisasi, mahasiswa dapat mengembangkan dirinya.
Sebenarnya, globalisasi bagi mahasiswa ini merupakan proses untuk menuju kedewasaan dan mewujudkan diri sebagai mahasiswa yang sanggup untuk berkompetisi dalam era perkembangan zaman. Oleh karena itu, seorang mahasiswa harus menjadi pribadi yang cerdas, kritis, dinamis, dan berempati dalam menghadapi persaingan di era globalisasi ini. Yaitu mahasiswa yang mampu menggunakan akalnya dengan baik, tidak mudah percaya dengan suatu kebenaran, mampu menempatkan dirinya dalam berbagai situasi dan kondisi, dan mahasiswa yang selalu memperhatikan orang lain. Jadilah mahasiswa yang dapat menjadi figur yang dapat dicontoh oleh mahasiswa lainnya.

Mahasiswa Dalam Menyikapi Pengaruh Globalisasi Globalisasi merupakan salah satu tantangan besar yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia, tak terkecuali oleh mahasiswa di seluruh Indonesia. Berbicara mengenai globalisasi, pikiran kita pasti tertuju pada teknologi informasi dan komunikasi yang bersumber dari ilmu pengetahuan. Pertanyaannya adalah, apakah mahasiswa Indonesia mampu untuk bersaing  di era globalisasi ini? Jawabannya, harus mampu! Karena jika tidak, mahasiswa akan gagal dalam peranannya sebagai mahasiswa.
    Agen social of change ataupun agen social of control, selama ini sangat baik melekat pada mahasiswa. Sebutan tersebut diberikan kepada mahasiswa atas jasa dan pengorbanannya dalam perjuangan merespon balik segala bentuk kegelisahan masyarakat yang datang dari para elite penguasa. Jika kita melihat sejenak ke belakang dalam runtutan sejarah gerakan mahasiswa, maka bisa kita simpulkan bahwa tanpa peran mahasiswa, maka negara ini tidak akan utuh berdiri dalam persaingan global. Tercetusnya sumpah pemuda menjadi cikal bakal perjuangan para mahasiswa untuk membangun kompetensi diri dan meningkatkan kualitas diri. Sebagai mahasiswa yang dituntut dalam persaingan di era globalisasi ini, sejarah merupakan bahan untuk perenungan dan pembelajaran para mahasiswa kearah yang lebih baik.
     Tidak bisa kita sangkal bahwa globalisasi mengantarkan para mahasiswa pada kondisi kehidupan dibawah bayang-bayang apatisme, individualisme, materialisme, serta hedonisme global. Jarang sekali mahasiswa mencoba berpikir tentang persoalan kerakyatan, keagamaan, atau bagaimana konsep memajukan bangsa di era globalisasi ini. Mereka lebih suka diajak bersenang-senang untuk kepentingan pribadi yang bersifat sesaat, seperti kegiatan rekreatif. Maka, mentalitas yang hedonis, individualis, dan sebagainya itu harus diubah kepada jati diri mahasiswa yang mempunyai idealisme yang tinggi. Jika direnungkan, mahasiswa Indonesia harus membekali diri dengan ilmu agama karena penanaman nilai-nilai religius dan moralitas menjadi dasar pembentukan akhlak bangsa. Dan pasti saja dapat menepis pengaruh negatif dari globalisasi. Selain itu, mahasiswa harus kritis dan harus dihadapkan langsung pada persoalan-persoalan kerakyatan. Di era globalisasi ini, mahasiswa akan menghadapi tantangan yang berat. Persaingan tidak hanya akan terjadi dengan lulusan dalam negeri, tetapi juga dengan luar negeri. Globalisasi menuntut SDM yang berkualitas. Karena itu, mahasiswa harus belajar, belajar, dan belajar! Selain itu, mahasiswa perlu membekali diri dengan kursus atau pelatihan-pelatihan dan berorganisasi, misalnya saja kursus bahasa asing. Dengan kursus tersebut, mahasiswa dapat memiliki keahlian-keahlian yang sangat diperlukan di era globalisasi dan juga dapat mengikuti perkembangan zaman. Berorganisasi pun sangat penting karena dalam berorganisasi, mahasiswa dapat mengembangkan dirinya. Sebenarnya, globalisasi bagi mahasiswa ini merupakan proses untuk menuju kedewasaan dan mewujudkan diri sebagai mahasiswa yang sanggup untuk berkompetisi dalam era perkembangan zaman. Oleh karena itu, seorang mahasiswa harus menjadi pribadi yang cerdas, kritis, dinamis, dan berempati dalam menghadapi persaingan di era globalisasi ini. Yaitu mahasiswa yang mampu menggunakan akalnya dengan baik, tidak mudah percaya dengan suatu kebenaran, mampu menempatkan dirinya dalam berbagai situasi dan kondisi, dan mahasiswa yang selalu memperhatikan orang lain. Jadilah mahasiswa yang dapat menjadi figur yang dapat dicontoh oleh mahasiswa lainnya.


Ciri-ciri globalisasi itu sendiri dapat dilihat berikut ini:
1. Perubahan dalam bentuk ruang dan waktu, contohnya saja perkembangan telephone genggam yang saat ini bukan menjadi barang mewah lagi bagi masyarakat Indonesia.
2. Pasar dan produksi internasional, contohnya begitu terbukanya persaingan antar Negara seperti yang dialami oleh Indonesia, yang harus bersaing dengan cina dalam pasar terbuka.

3. Peningkatan interaksi cultural. Contohnya saja perkembangan fashion di Indonesia yang mengasusmsi dari kebudayaan barat.
4. Meningkatnya masalah bersama. Contohnya saja Inflasi yang belum lama ini melanda Amerika serikat berdampak besar bagi Negara-negara lainnya, seperti Indonesia.

Pengaruh Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme di Kalangan mahasiswa
Arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama di kalangan muda. Pengaruh globalisasi terhadap anak muda juga begitu kuat. Pengaruh globalisasi tersebut telah membuat banyak anak muda kita kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala- gejala yang muncul dalam kehidupan sehari- hari anak muda sekarang.
Dari cara berpakaian banyak remaja- remaja kita yang berdandan seperti selebritis yang cenderung ke budaya Barat. Mereka menggunakan pakaian yang minim bahan yang memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya tidak kelihatan. Pada hal cara berpakaian tersebut jelas- jelas tidak sesuai dengan kebudayaan kita. Tak ketinggalan gaya rambut mereka dicat beraneka warna. Pendek kata orang lebih suka jika menjadi orang lain dengan cara menutupi identitasnya. Tidak banyak remaja yang mau melestarikan budaya bangsa dengan mengenakan pakaian yang sopan sesuai dengan kepribadian bangsa.
Teknologi internet merupakan teknologi yang memberikan informasi tanpa batas dan dapat diakses oleh siapa saja. Apa lagi bagi anak muda internet sudah menjadi santapan mereka sehari- hari. Jika digunakan secara semestinya tentu kita memperoleh manfaat yang berguna. Tetapi jika tidak, kita akan mendapat kerugian. Dan sekarang ini, banyak pelajar dan mahasiswa yang menggunakan tidak semestinya. Misal untuk membuka situs-situs porno. Bukan hanya internet saja, ada lagi pegangan wajib mereka yaitu handphone. Rasa sosial terhadap masyarakat menjadi tidak ada karena mereka lebih memilih sibuk dengan menggunakan handphone.
Dilihat dari sikap, banyak anak muda yang tingkah lakunya tidak kenal sopan santun dan cenderung cuek tidak ada rasa peduli terhadap lingkungan. Karena globalisasi menganut kebebasan dan keterbukaan sehingga mereka bertindak sesuka hati mereka. Contoh riilnya adanya geng motor anak muda yang melakukan tindakan kekerasan yang menganggu ketentraman dan kenyamanan masyarakat.
Jika pengaruh-pengaruh di atas dibiarkan, mau apa jadinya genersi muda tersebut? Moral generasi bangsa menjadi rusak, timbul tindakan anarkis antara golongan muda. Hubungannya dengan nilai nasionalisme akan berkurang karena tidak ada rasa cinta terhadap budaya bangsa sendiri dan rasa peduli terhadap masyarakat. Padahal generasi muda adalah penerus masa depan bangsa. Apa akibatnya jika penerus bangsa tidak memiliki rasa nasionalisme?
Berdasarkan analisa dan uraian di atas pengaruh negatif globalisasi lebih banyak daripada pengaruh positifnya. Oleh karena itu diperlukan langkah untuk mengantisipasi pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai nasionalisme.
Globalisasi terjadi karena faktor-faktor nilai budaya luar, seperti:
a. selalu meningkatkan pengetahuan; f. etos kerja;
b. patuh hukum; g. kemampuan memprediksi;
c. kemandirian; h. efisiensi dan produktivitas;
d. keterbukaan; h. keberanian bersaing; dan
e. rasionalisasi; i. manajemen resiko.
Globalisasi terjadi melalui berbagai saluran, di antaranya:
a. lembaga pendidikan dan ilmu pengetahuan;
b. lembaga keagamaan;
c. indutri internasional dan lembaga perdagangan;
d. wisata mancanegara;
e. saluran komunikasi dan telekomunikasi internasional;
f. lembaga internasional yang mengatur peraturan internasional; dan
g. lembaga kenegaraan seperti hubungan diplomatik dan konsuler.
Globalisasi berpengaruh pada hampir semua aspek kehidupan masyarakat. Ada masyarakat yang dapat menerima adanya globalisasi, seperti generasi muda, penduduk dengan status sosial yang tinggi, dan masyarakat kota. Namun, ada pula masyarakat yang sulit menerima atau bahkan menolak globalisasi seperti masyarakat di daerah terpencil, generasi tua yang kehidupannya stagnan, dan masyarakat yang belum siap baik fisik maupun mental. Unsur globalisasi yang sukar diterima masyarakat adalah sebagai berikut.
a. Teknologi yang rumit dan mahal.
b. Unsur budaya luar yang bersifat ideologi dan religi.
c. Unsur budaya yang sukar disesuaikan dengan kondisi masyarakat.
Unsur globalisasi yang mudah diterima masyarakat adalah sebagai berikut.
a. Unsur yang mudah disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat.
b. Teknologi tepat guna, teknologi yang langsung dapat diterima oleh masyarakat.
c. Pendidikan formal di sekolah.
Modernisasi dan globalisasi membawa dampak positif ataupun negatif terhadap perubahan Sosial dan budaya suatu masyarakat.Unsur globalisasi yang mudah diterima masyarakat adalah sebagai berikut.
a. Unsur yang mudah disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat.
b. Teknologi tepat guna, teknologi yang langsung dapat diterima oleh masyarakat.
c. Pendidikan formal di sekolah.
www.crayonpedia.org
Penyebab Merosotnya Moral
Kemerosotan moral banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial-budaya dalam masyarakat sekitarnya. Lingkungan sosial yang buruk adalah bentuk dari kurangnya pranata sosial dalam mengendalikan perubahan sosial yang negatif. Seperti yang kita ketahui bahwa sebagian besar mahasiswa adalah anak kost yang tentunya jauh dari pengawasan orang tua. Mayoritas kost memang memiliki penjaga, atau yang disebut induk semang. Namun, ada pula yang tidak disertai penjaga. Lingkungan seperti ini menyebabkan munculnya rasa bebas bertindak dari mahasiswa yang kost tersebut.
Dunia malam yang mayoritas dinikmati mahasiswa menimbulkan masalah yang begitu kompleks, seperti narkoba, alkhohol, seks bebas, hingga merembet ke kriminalitas. Hampir setiap malam diskotik-diskotik dipenuhi pengunjung, dan sebagian besar dari mereka adalah mahasiswa.
Pada kondisi budaya yang dapat dibilang tidak baik, para remaja mudah sekali terpengaruh oleh hal-hal yang baru. Sebagai contoh adalah video porno. Memang sepertinya tidak etis apabila kita menyebut video porno adalah sebuah kebudayaan. Karena pada intinya kebudayaan adalah sesuatu karya manusia yang berguna bagi manusia. Untuk kasus video porno ini dapat dikatakan sebagai budaya yang enyimpang.
Hal ini terjadi karena pengaruh media melalui tayangan-tayangan yang vulgar dan cenderung untuk lebih mengarahkan konsumennya ke arah pornografi dan pornoaksi. Tidak heran bila eksploitasi bentuk tubuh baik wanita maupun pria (terutama dari kalangan wanita) selalu menjadi ukuran dalam segala hal. Tidak sulit saat ini untuk mendapatkan gambar-gambar yang mempertontonkan bentuk tubuh lewat majalah atau harian porno, menonton adegan-adegan kotor lewat VCD Porno, HP juga menjadi alat penyebar pornoaksi, penampilan iklan yang menunjukkan kemolekan tubuh. Pelayanan seks lewat telepon juga marak diiklankan dengan bebas dan amat vulgar.
Rusaknya moral via media juga tidak selalu berhubungan dengan pornografi dan pornoaksi, tetapi juga berupa program yang menunjukan sarkasme dan kriminalisme. Secara tidak langsung, tayangan ini terinternalisasi ke dalam diri penontonnya. Sebagai contoh dari akibat dari hal ini adalah kasus perkelahian mahasiswa yang kerap terjadi. Penyebab umumnya adalah karena hubungan percintaan dan minuman keras.
Secara garis besar, penyebab dari rusaknya moral generasi muda intelektual adalah sebagai berikut: Tidak adanya pengawasan langsung dari pihak yang tepat. Lingkungan sosial-budaya yang tidak sehat. Tayangan media massa yang tidak baik, kurangnya pendidikan mengenai moral hinga tidak adanya kesadaran dari para mahasiswa untuk memiliki ketahanan diri sebagai filter dari hal-hal yang negatif.

Demoralisasi Mahasiswa Saat Ini
Era modern ditandai dengan berbagai macam perubahan dalam masyarakat. Perubahan ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi (iptek), mental manusia, teknik dan penggunaannya dalam masyarakat, komunikasi dan transportasi, urbanisasi, perubahan-perubahan pertambahan harapan dan tuntutan manusia . Semuanya ini mempunyai pengaruh bersama dan mempunyai akibat bersama dalam masyarakat, dan inilah yang kemudian menimbulkan perubahan masyarakat.
Perubahan ini sampai mengarah kepada perubahan mentalitas (moral). Khususnya, di kalangan generasi muda (dalam hal ini mahasiswa) telah terlihat adanya pergeseran nilai dan kecendrungan-kecendrungan pada aspek tertentu. Sangat disayangkan, era modern hanya ditandai dengan gaya hidup yang serba hedonistis (keduniawian) dan budaya glamour (just for having fun). Perilaku moral generasi muda telah melampaui batas-batas norma. Potret buram generasi muda hari ini: mabuk-mabukkan, berlagak preman (premanisme), penganut seks bebas (free sex), tawuran antar pelajar, terlibat narkoba, dan lain sebagainya. Kondisi inilah yang disebut demoralisasi, yaitu proses kehancuran moral generasi muda.
Akhir-akhir ini permasalahan seks bebas di kalangan mahasiswa semakin memprihatinkan, terutama yang kurang baik taraf penanaman keimanan dan ketaqwaannya. Beberapa kasus video porno pasangan mahasiswa yang merebak di internet membuktikan bahwa moral adalah sebuah hal yang tidak cukup penting untuk dipahami dan dilaksanakan oleh sebagian mahasiswa.
Kemudian kasus pencurian telepon genggam oleh mahasiswa yang ketika ditanya, ia mengaku butuh uang untuk membeli narkoba. Kemudian kasus lainnya beberapa mahasiswa di salah satu universitas negeri di Semarang tertangkap basah sedang mesum di lingkungan kampus. Dan banyak contoh kasus lain perilaku amoral mahasiswa yang kerap terjadi di Indonesia ini.
Sebuah kasus yang menunjukan begitu rentannya pelajar dan mahasiswa mengalami kerusakan moral adalah di Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa sekitar 80% mahasiswi di sana telah kehilangan keperawanan. Dari hal ini, kita mengetahui bahwa hampir tidak dapat dipisahkan antara kaum muda intelek dengan pergaulan bebas.
Kondisi ini juga berimbas terhadap down-nya mental generasi muda. Gejalanya bisa dilihat dari pesimisme generasi muda baik dalam mengeluarkan ide/gagasan ataupun dalam menyikapi perkembangan. Tidak jarang ditemukan mahasiswa yang minder sendiri karena ketidakmampuannya mengoperasikan teknologi informasi, seperti: komputer ataupun internet atau juga mahasiswa yang terganggu mentalitas kejiwaannya karena tidak sanggup berhadapan dengan kompleksitas persoalan hidup.
Telah terjadi pergeseran nilai hidup dari sebagian mahasiswa dari menuntut ilmu dan berkarya ke menikmati hidup dan menikmati karya. Dengan kata lain kurangnya internalisasi Tri Dharma Perguruan Tinggi di kalangan mahasiswa. Imbasnya, mahasiswa lebih suka berdemo menuntut pemerintah membatalkan kebijakan yang dianggap merugikan masyarakat daripada berkarya untuk mengatasi tantangan yang dapat berguna bagi rakyat. Seharusnya mahasiswa yang kreatif dan bermoral tinggi memiliki kepekaan yang lebih berupa tindakan nyata dan langsung sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat.
Demonstrasi yang akhir-akhhir ini kerap terjadi hampir selalu berakhir dengan bentrokan. Bentrokan juga merupakan suatu bentuk dari tindakan amoral karena bertujuan untuk menyakiti musuhnya. Di lain waktu juga terlihat amoralitas mahasiswa dimana mahasiswa tidak memiliki rasa hormat terhadap orang lain ketika membakar foto Presiden.
Ini adalah potret buram betapa negeri ini masih perlu untuk belajar berdemokrasi dengan bijak. Tidak semata-mata atas nama hak asasi manusia setiap orang boleh melakukan apa saja yang ia ingin ia lakukan. Nilai-nilai Pancasila yang luhur merupakan ajaran moral yang mendasar dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Tetapi pada kenyataannya saat ini Pancasila justru banyak dipertanyakan relevansinya dalam era moderenitas-globalisasi.
Pada hakikatnya ajaran moral Pancasila meliputi segala bidang, dari agama, sosial-budaya, politik, hankam, pendidikan serta ekonomi. Namun, jauhnya relasi antara warga dengan Pancasila ini telah menimbulkan masalah moral yang juga begitu kompleks di segala bidang. Dalam hal ini, yang penulis soroti adalah bidang pendidikan. Kondisi pendidikan kita saat ini jauh dari upaya untuk menjaga atau memperbaiki moral. Di dunia sekolah pada kurikulum 1984, terdapat mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang memiliki esensi sebagai peljaran moral yang berdasar Pancasila. Namun, pada kurikulum 1994 pelajaran ini dihapuskan dan diganti dengan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) dengan maksud untuk menumbuhkan rasa cinta tanah air, sementara itu pendidikan tentang moral masuk ke dalam Pendidikan Agama yang pada penerapannya lebih pada kehidupan beragama itu sendiri. Dan setelah itu, pada kurikulum 2004 PPKn juga diganti dengan Pendidikan Kewarganegaraan saja tanpa Pancasila. Secara otomatis nilai-nilai moral yang ada dalam Pancasila tidak lagi dipelajari dan ditanamkan pada diri siswa.
Di dunia perguruan tinggi moral bahkan tidak pernah disosialisasikan kepada mahasiswa secara formal atau masuk ke dalam mata kuliah secara khusus. Moral tersubstansi dalam MPK yaitu mata kuliah pengembangan kepribadian meliputi Pendidikan Pancasila, Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Agama. Hal ini cenderung membuat mahasiswa kurang memahami pentingnya moral dalam kehidupan akademis mereka maupun sebagai aplikasi di masyarakat kelak

Solusi
Kompleksitas demoralisasi mahasiswa saat ini memang memerlukan solusi yang tepat agar kelestarian moral yang ada pada mahasiswa dapat terjaga. Mahasiswa adalah agen pembangunan dan moral adalah perawat dari agen tersebut. Rusaknya moral butuh penanganan dari berbagai aspek, meliputi sosial-budaya, agama, pendidikan, serta politik dan hukum.
Pada aspek sosial-budaya dibutuhkan perbaikan kondisi sosial dan penyaringan budaya (culture filtering) dalam lingkungan mahasiswa. Perbaikan tersebut dapat berupa penataan sistem sosial dimana masing-masing komponennya berfungsi secara positif. Dan bentuk culture filtering adalah berupa sosialisasi dan internalisasi kearifan lokal yang berfungsi positif dalam proses akulturasi kebudayaan.
Di bidang keagamaan, agama memiliki kearifan yang luhur dalam urusan moral. Masing-masing agama memiliki karakteristik yang berbeda, tetapi pada akhirnya bertujuan untuk mengatur manusia agar tetap dalam jalan yang benar.
Dunia pendidikan adalah tempat dimana mahasiswa berkecimpung. Hakikat pendidikan adalah membentuk manusia seutuhnya. Seutuhnya berarti tidak berperilaku seperti binatang, dengan kata lain berperilaku sesuai akal pikiran dan hati nurani. Berperilaku sesuai dengan akal, pikiran dan hati nurani berarti berdasarkan nilai-nilai moral. Diperlukan pendidikan moral yang secara khusus merujuk pada soft skill mahasiswa sebagai dasar berperilaku akademis
Politik dan hukum menyangkut kebijakan penguasa atau pemerintah. Pemerintah seharusnya berperan aktif dalam upaya perbaikan moral. Peran aktif tersebut dapat berupa program-program penyuluhan atau bimbingan. Lalu hukum yang tegas dan adil harus ditegakan untuk memberikan efek takut bagi yang belum melanggar dan efek jera bagi yang sudah dihukum.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan dasar solusi dalam upaya perbaikan moral. Solusi-solusi tersebut yaitu:
·         Kualitas keimanan. Sebagai umat beragama, mahasiswa harus memiliki keimanan yang teguh sebagai pegangan dalam berperilaku yang positif. Karena setiap agama pasti memiliki nilai-nilai moral yang luhur dan arif.
·         Kualitas keilmuan. Mahasiswa di negeri ini harus memiliki intelegensi agar tidak mudah dibodohi oleh kebudayaan asing yang buruk. Selain itu agar mahasiswa memiliki kemampuan yang prima tekait bidang teknologi dan informasi. Dengan itu secara otomatis akan memunculkan kondisi moral yang baik pula.
·         Kualitas keamalan. Mahasiswa harus memiliki etos kerja yang tinggi. Yang juga akan menjauhkan mereka dari kegiatan yang kurang bermanfaat.

Moral yang merupakan keseluruhan norma yang mengatur tingkah laku sudah mulai tidak lagi digunakan sebagai penunjuk jalan berperilaku, terutama bagi mahasiswa yang merupakan agen pembangunan. Demoralisasi kaum akademik ini sangat berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia baik untuk saat ini maupun untuk masa depan kelak. Secara umum bentuk dari perilaku amoral mahasiswa adalah seks bebas, minuman keras, narkoba, perkelahian atau juga tawuran, kriminalitas dan lain-lain. Semua hal tersebut ditandai dengan budaya hura-hura, mengutamakan duniawi dan konsep just for having fun.
Implementasi solusi yang tepat untuk mengatasi demoralisasi mahasiswa adalah berupa penanaman nilai-nilai keagamaan sehingga menumbuhkan keimanan pada masing-masing agamanya, pembekalan ilmu yang cukup sebagai referensi dalam bertindak, dan yang terakhir adala pengamalan mahasiswa yang memiliki ethos kerja tinggi dalam rangka berkarya untuk masyarakat. http://tapurnomo.blogspot.com/2010/03/merosotnya-moral-mahasiswa-sebagai-agen.html


PERUBAHAN OLEH ARUS GLOBALISASI
1. Menggeser Pola Hidup Masyarakat.
Dari agraristradisional menjadi masyarakat industri modern. Darikehidupan berasaskan kebersamaan, kepada kehidupanindividualis. Dari lamban kepada serba cepat.Dari berasas nilai sosial menjadi konsumerismaterialis. Dari tata kehidupan tergantung dari alamkepada kehidupan menguasai alam. Dari kepemimpinanformal kepada kepemimpinan kecakapan (profesional).




No comments: