30 April 2015

Pegadian Syariah




BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Seiring dengan kegiatan ekonomi di Indonesia, kebutuhan akan pendanaan pun semakin meningkat. Perum Pegadaian sebagai satu-satunya perusahaan di Indonesia yang menyelenggarakan bisnis gadai dan saran pendanaan alternatif telah ada sejak lama dan banyak dikenal masyarakat Indonesia, terutama di kota kecil. Kini Perum Pegadaian telah mengeluarkan produk yang berbasis syariah yaitu Pegadaian Syariah. Pada saat ini pegadaian syariah sudah terbentuk sebagai sebuah lembaga.
Ide pembentukan pegadaian syariah selain karena tuntutan idealism juga dikarenakan keberhasilan terlembaganya bank dan asuransi syariah. Setelah terbentuknya bank, BMT, BPR, dan asuransi syariah maka pegadaian syariah mendapat perhatian oleh beberapa praktisi dan akademisi untuk dibentuk di bawah suatu lembaga sendiri. Keberadaan pegadaian syariah atau gadai syariah atau rahn lebih dikenal sebagai bagian produk yang ditawarkan oleh bank syariah, dimana bank menawarkan kepada masyarakat bentuk penjaminan barang guna mendapatkan pembiayaan.
Namun tren dari perkembangan rahn sebagai produk perbankan syariah belum begitu baik, hal ini disebabkan oleh keberadaan komponen-komponen pendukung produk rahn yang terbatas, seperti sumberdaya penafsir, alat untuk menafsir, dan gudang penyimpanan barang jaminan. Oleh karena itu tidak semua bank mampu memfasilitasi keberadaan rahn ini, tetapi jika keberadaan rahn sangat dibutuhkan dalam sistem pembiayaan bank, maka bank tersebut memiliki ketentuan sendiri mengenai rahn, misalnya dalam hal barang jaminan ukurannya dibatasi karena alasan kapasitas gudang penyimpanan barang jaminan terbatas.
Sebab lain mengapa perkembangan pegadaian syariah kurang baik, sebab masyarakat belum begitu mengenal gadai syariah (rahn) sebagai suatu lembaga keuangan mandiri. Namun di lain pihak realitas menunjukkan bahwa pegadaian–contohnya pegadaian konvensional–mampu memberikan kontribusi aktif dalam membantu masyarakat. Melihat realitas tersebut, keberadaan pegadaian syariah tidak bisa ditunda-tunda lagi sehingga pada tahun 2003 didirikan pegadaian syariah.



B.       Tujuan Pembelajaran
Adapun tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dari penyusunan karya tulis ini, yakni :
1.         Untuk mengetahui pengertian pegadaian syariah
2.         Untuk mengetahui landasan hukum pegadaian syariah
3.         Untuk mengetahui rukun gadai syariah
4.         Untuk mengetahui syarat gadai syariah
5.         Untuk mengetahui akad perjanjian gadai
6.         Untuk mengetahui aspek perjanjian pegadaian syariah
7.         Untuk mengetahui mekanisme pegadaian syariah
8.         Untuk mengetahui jenis barang yang digadaikan
9.         Untuk mengetahui risiko dari barang gadai
10.     Untuk mengetahui perbedaan pegadaian konvensional dengan pegadaian syariah
11.     Untuk mengetahui kendala pengembangan pegadaian syariah
12.     Untuk mengetahui strategi pengembangan pegaadaian syariah




BAB II
PEMBAHASAN
A.       Pengertian Pegadaian
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1150, gadai adalah suatu hak yang dipeoleh seorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak . Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang yang mempunyai utang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai utang. Seorang yang berutang tersebut memberikan kekuasaan kepada orang yang memberikutang untuk menggunakan barang bergerak yang telah diserahkan untuk melunasi apabila pihak yang berutang tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo.
Perusahaan Umum Pegadaian adalah satu-satunya badan usaha di Indonesia yang secara resmi mempunyai izin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana ke masyarakat atas dasar hukum gadai seperti dimaksud dalam Kitab Undang-Undang perdata pasal 1150 di atas. Tugas pokoknya adalah memberikan pinjaman kepada masyarkat atas dasar hokum gadai agar masyarkat tidak dirugikan oleh kegiatan lembaga keuangan informal yang cenderung memanfaatkan kebutuhan dana mendesak dari masyarakat.
Gadai dalam fiqh disebut rahn, yang menurut bahasa adalah nama barang yang dijadikan sebagai jaminan kepercayaan. Sedangkan menurut syara’ artinya menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, tetapi dapat diambil kembali sebagai tebusan.
Pegadaian syari’ah adalah pegadaian yang dalam menjalankan operasionalnya berpegang kepada prinsip syari’ah. Payung gadai syari’ah dalam hal pemenuhan prinsip-prinsip syari’ah berpegang pada fatwa DSN-MUI No. 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan. Sedangkan dalam aspek kelembagaan tetap menginduk kepada Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1990 tanggal 10 April 1990.

B.       Landasan Hukum Pegadaian Syariah
Sebagaimana halnya institusi yang berlabel syariah, maka landasan konsep pegadaian Syariah juga mengacu kepada syariah Islam yang bersumber dari Al Quran dan Hadist Nabi SAW. Adapun dasar hukum yang dipakai antara lain:
-          Al-Qur’an
“Jika Kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (Oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (Hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah kamu (Para Saksi) menyembunyikan persaksian, dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia ini adalah yang berdosa hatinya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah (2): 283)
-          Al-Hadist
Bukhari dan lainnya meriwayatkan dari Aisyah berkata, “Rasulullah pernah member makanan dari orang Yahudi dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi beliau” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Anas ra berkata, Rasulullah saw menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi di Madinah dan mengambil darinya gandum untuk keluarga beliau (HR. Bukhari, Ahmad, Nasa’I dan Ibnu Majab)
Dari Abi Hurairah ra, Rasulullah saw berkata, “Apabila ada ternak digadaikan, maka punggungna aboleh dinaiki (oleh orang yang menerima gadai), Karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)-nya. Apabila ternak itu digadaikan, maka air susunya yang deras boleh diminum (oleh orang yang menerima gadai, karena ia telah menge;uarkan biaya (menjaga)-nya. Kepada orang yang naik dan minum, maka ia harus mengeluarkan biaya (perawatan)-nya (HR. Jamah kecuali Muslim dan Nasa’i)
Dari Abu Hurairah ra bahwasanya Rasulullah saw berkata. “Barang yang digadaikan itu tidak boleh ditutup dari pemilik yang menggadaikannya. Baginya adalah keuntungan dan tanggung jawabnya ialah bila ada kerugian (atau biaya) (HR. Syafi’I dan Daruqutni)
-          Ijtihad Ulama
Perjanjian gadai yang diajarkan dalam Al-Qur’an dan al-Hadits itu dalan pengembangan selanjutnya dilakukan oleh para fuqaha dengan jalan Ijtihad, dengan kesepakatan para ulama bahwa gadai diperbolehkan dan para ulama tidak pernah mempertentangkan kebolehannya demikian juga dengan landasan hukumnya. Namun demikian, perlu dilakukan pengkajian ulang yang lebih mendalam bagaimana seharusnya pegadaian menurut landasan hukumnya.
Adapun mengenai Prinsip rahn (gadai) telah memiliki fatwa dari Dewan Syari`ah Nasional Majelis Ulama Indonesia yaitu fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn dan fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas.

C.       Rukun Gadai Syariah
Dalam menjalankan pegadaian syariah, pegadaian harus memenuhi rukun gadai syariah. Rukun gadai tersebut antara lain:
1)             Ar-Rahin (yang Menggadaikan)
Orang yang telah dewasa, berakal, bisa dipercaya, dan memiliki barang yang akan digadaikan.
2)             Al-Murtahin (yang Menerima Gadai)
Orang, bank, atau lembaga yang dipercaya oleh rahin untuk mendapatkan modal dengan jaminan  barang (gadai).
3)             Al-Marhun/rahn (barang yang digadaikan)
Barang yang digunakan rahin untuk dijadikan jaminan dalam mendapatkan utang.
4)             Al- Marhun bih (utang)
Sejumlah dana yang diberikan murtahin kepada rahin atas dasar besarnya tafsiran marhun.
5)             Sighat, Ijat, dan Qabul
Kesepakatan antara rahin dan murtahin dalam melakukan transaksi gadai.

D.      Syarat Gadai Syariah
1)             Rahin dan Murtahin
Pihak-pihak yang melakukan perjanjian rahn, yakni rahin dan murtahin harus mengikuti syarat-sayarat berikut kemampuan, yaitu berakal sehat. Kemampuan juga berarti kealyakan seseorang untuk melakukan transaksi pemilikan.
2)             Sighat
a.         Sighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan juga dengan suatu waktu di masa depan.
b.         Rahn mempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian utang seperti halnya akad jualbeli. Maka tidak boleh diikat dengan syarat tertentu atau dengan suatu waktu di masa depan.
3)             Marhun bih (Utang)
a.         Harus merupakan hak yang wajib diberikan/diserahkan kepada pemiliknya.
b.         Memungkinkan pemanfaatan. Bila sesuatu menjadi utang tidak bisa dimanfaatkan, maka tidak sah.
c.         Harus dikuantifikasi atau dapat dihitung jumlahnya. Bila tidak dapat diukur atau tidak dikualifikasi rahn itu tidak sah.
4)             Marhun
Aturan pokok dalam madzab Maliki tentang masalah ini ialah bahwa gadai itu dapat dilakukan pada semua macam harga pada semua macam jual-beli, kecuali pada jual-beli mata uang (sharf) dan pokok modal pada salam yang berkaitan dengan tanggungan. Demikian itu, karena pada sharf disyaratkan tunai (yakni kedua belah pihak saling menerima). Oleh karena itu, tidak boleh terjadi akad gadai padanya.
Menurut pendapat ulama Syafi’iyah, barang yang digadaikan itu memiliki tiga syarat; Pertama, berupa utang, karena barang yang nyata itu tidak digadaikan. Kedua, menjadi tetap, karena sebelumnya tetap tidak dapat digadaikan, seperti jika seorang menerima gadai dengan imbalan sesuatu yang dipinjamnya. Tetapi Imam Malik membolehkan hal ini. Ketiga, mengikatnya gadai tidak sedang dalam proses penantian terjadi dan tidak menjadi wajib, seperti gadai dalam kitabah.
Secara umum barang gadai harus memenuhi beberapa syarat, antara lain:
a.         Harus diperjualbelikan
b.         Harus berupa harta yang bernilai
c.         Marhun harus bisa dimanfaatkan secara syariah
d.         Harus diketahui keadaan fisiknya, maka piutang tidak sah untuk digadaikan harus berupa barang yang diterima secara langsung
e.         Harus dimiliki oleh rahin (peminjam atau pegadai) setidaknya harus seizin pemiliknya.

E.        Akad Perjanjian Gadai
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa penggadaian bisa sah bila memenuhi tiga syarat:
1)             Harus berupa barang, karena utang tidak bisa digadaikan.
2)             Penetapan kepemilikan penggadaian atas barang yang digadaikan tidak terhalang, seperti mushaf.
3)             Barang yang digadaikan bisa dijual manakala sudah masa pelunasan utang gadai.
Berdasarkan tiga syarat di atas, maka dapat diambil alternatif dalam mekanisme perjanjian gadai, yaitu dengan menggunakan tiga akad perjanjian. Ketiga akad perjanjian tersebut adalah:
1)             Akad al-Qardul Hasan
Akad ini dilakukan pada kasus nasabah yang menggadaikan barangnya untuk keperluan konsumtif. Dengan demikian, nasabah (rahin) akan memberikan biaya upah atau fee kepada pegadaian (murtahin) yang telah menjaga atau merawat barang gadaian (marhum).
2)             Akad al-Mudharabah
Akad dilakukan untuk nasabah yang menggadaikan jaminannya untuk menambah modal usaha (pembiayaan investasi dan modal kerja). Dengan demikian, rahin akan memberikan bagi hasil (berdasarkan keuntungan) keapada murtahin sesuai dengan kesepakatan, sampai modal yang dipinjam terlunasi.
3)             Akad Bai’ al-Muqayadah
Untuk sementara akad ini dapat dilakukan jika rahin yang menginginkan menggadaikan barangnya untuk keperluan produktif, artinya dalam menggadaikan, rahin tersebut menginginkan modal kerja berupa pembelian barang. Sedangkan barang jaminan yang dapat dimanfaatkan atau tidak dapat dimanfaatkan oleh rahin atau murtahin. Dengan demikian, murtahin akan membelikan barang yang sesuai dengan keinginan rahin atau rahin akan memberikan mark-up kepada murtahin sesuai dengan kesepakatan pada saat akad berlangsung sampai batas waktu yang telah ditentukan.

F.        Aspek Pendirian Pegadaian Syariah
Dalam mewujudkan sebuah pegadaian yang ideal dibutuhkan beberapa aspek pendirian. Adapun aspek-aspek pendirian pegadaian syariah tersebut antara lain:
1)             Aspek legalitas
Peraturan pemerintah No. 10 Tahun 1990 tentang berdirinya lembaga gadai –yang berubah dari bentuk Perusahaan Jawatan Pegadaian menjadi Perusahaan Umum Pegadaian- pasal 3 ayat 1a menyebutkan bahwa Perum Pegadaian adalah badan usaha tunggal yang diberi wewenang untuk menyalurkan uang pinjaman atas dasar hokum gadai. Kemudian misi dari Perum Pegadaian disebutkan pada pasal 5 ayat 2b, yaitu pencegahan praktek ijon, riba, pinjaman tidak wajar lainnya. Pasal-pasal tersebut dapat dijadikan legitimasi bagi berdirinya pegadaian syariah.
2)             Aspek permodalan
Modal untuk menjalankan perusahaan gadai adalah cukup besar, karena selain diperlukan untuk dipinjamkan kepada nasabah, juga diperlukan investasi untuk penyimpanan barang gadai. Permodalan gadai syariah bisa diperoleh dengan sistem bagi hasil, seperti mengumpulkan dana dari beberapa orang (musyarakah), atau dengan mencari sumber dana (shahibul mal), seperti bank atau perorangan untuk mengelola perusahaan gadai syariah (mudharabah).
3)             Aspek sumber daya manusia
Keberlangsungan pegadaian syariah sangat ditentukan oleh kemampuan sumber daya manusianya. SDM pegadaian syariah harus memahami filosofi gadai dan sistem operasionalisasi gada syariah. SDM selain mampu menangani masalah taksiran barang gadai, penentuan instrument pembagian rugi laba atau jualbeli, menangani masalah-masalah yang dihadapi nasabah yang berhubungan pengggunaan uang gadai, juga berperan aktif dalam syiar Islam di mana pegadaian itu berada.
4)             Aspek kelembagaan
Sifat kelembagaan mempengaruhi keefektifan sebuah perusahaan gadai dapat bertahan. Sebagai lembaga yang relatif belum banyak dikenal masyarakat, pegadaian syariah perlu mensosialisasikan posisinya sebagai lembaga ynag berada dengan gadai konvensional. Hal ini guna memperteguh keberadaannya sebgai lembaga yang berdiri untuk memberikan ke-maslahatan-an bagi masyarakat.
5)             Aspek sistem dan prosedur
Sistem dan prosedur gadai syariah harus sesuai dengan prinsip-prinsip syariah –dimana keberadaannya menekankan akan pentingnya gadai syariah. Oleh karena itu gadai syariah merupakan representasi dari suatu masyarakat dimana gadai itu berada maka sistem dan procedural gadai syariah berlaku fleksibel asal sesuai dengan prinsip gadai syariah.
6)             Aspek pengawasan
Untuk menjaga jangan sampai gadai menyalahi prinsip syariah maka gadai syariah harus diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah. Dewan Pengawas Syariah bertugas mengawasi operasionalisasi gadai syariah supaya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

G.      Mekanisme Pegadaian Syariah
Operasi pegadaian syariah menggambarkan hubungan di antara nasabah dan pegadaian. Adapun teknis pegadaian syariah adalah sebagai berikut:
1)             Nasabah menjaminkan barang kepada pegadaian syariah untuk mendapatkan pembiayaan. Kemudian pegadaian menaksir barang jaminan untuk dijadikan dasar dalam memberikan pembiayaan.
2)             Pegadaian syariah dan nasabah menyetujui akad gadai. Akad ini mengenai berbagai hal, seperti kesepakatan biaya gadaian, jatuh tempo gadai, dan sebagainya.
3)             Pegadaian syariah menerima biaya gadai, seperti biaya penitipan, biaya pemeliharaan, penjagaan dan biaya penaksiran yang dibayar pada awal transaksi oleh nasabah.
4)             Nasabah menebus barang yang digadaikan setelah jatuh tempo.

H.      Jenis Barang yang Digadaikan
Prinsip utama barang yang digunakan untuk menjamin adalah barang yang dihasilkan dari sumber yang sesuai dengan syariah, atau keberadaan barang tersebut di tangan nasabah bukan karena hasil praktek riba, gharar, dan maysir. Barang-barang tersebut antara lain, seperti:
1)             Barang perhiasan, seperti perhiasan yang terbuat dari intan, mutiara, emas, perak, platina, dan sebgainya.
2)             Barang rumah tangga, seperti perlengkapan dapur, perlengkapan makan atau minum, perlengkapan kesehatan, perlengkapan bertaman, dan sebagainya.
3)             Barang elektronik, seperti radio, tape recorder, video player, televise, komputer dan sebagainya.
4)             Kendaraan, seperti sepeda onthel, sepeda motor, mobil dan sebagainya.
5)             Barang-barang lain yang dianggap bernilai.
Keberadaan barang gadai selain karena alasan syariah, juga dikarenakan alasan keterbatasan tempat penyimpanan barang jaminan, kesulitan dalam menaksir barang jaminan, jenis barang jaminan mudah rusak dan jenis barang jaminan berbahaya. Barang-barang jaminan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1)             Barang-barang yang berukuran besar, seperti pesawat terbang, kereta api, satelit, tank, dan sebagainya.
2)             Barang-barang yang berbahaya, sperti bahan peledak (bom atau granat), senjata api, dan sebagainya.
3)             Barang-barang yang sulit dalam penyimpanannya dan pemeliharaannya, seperti tanaman, hewan dan sebagainya.

I.         Risiko dari Barang Gadai
Sesuatu kalau ada manfaatnya kadang juga mengandung risiko. Adapun risiko yang mungkin terjadi pada rahn apabila diterapkan sebagai produk adalah:
1)             Risiko tak terbayarnya utang nasabah (wanprestasi), risiko ini terjadi apabila nasabah kesulitan dalam melunasi kembali barang yang telah dijaminkan karena beberapa alasan. Nasabah gadai dapat saja terbebas dari kewajiban membayar cicilan dikarenakan dalam perjalanan waktu nasabah berniat untuk mengorbankan barang gadainya.
2)             Risiko penurunan nilai aset yang ditahan atau rusak, walaupun telah ditaksir nilai barang yang digadaikan kemungkinan adanya penurunan nilai barang dari aawal penaksiran akan terjadi. Hal itu disebabkan oleh berbagai masalah ekonomi, misalnya menurunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar.

J.         Perbedaan Pegadaian Konvensional dengan Pegadaian Syariah
Perbedaan antara gadai syariah dengan gadai konvensional dapat dibuat dalam sebuah tabel berikut:
Pegadaian Konvensional
Pegadaian Syariah
Didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 103 Tahun 2000
Didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 103 Tahun 2000 dan Hukum Agama Islam
Biaya administrasi menurut prosentase berdasarkan golongan barang
Biaya administrasi menurut ketetapan berdasarkan golongan barang
Bilamana lama pengembalian pinjaman lebih dari perjanjian barang gadai dilelang kepada masyarakat
Bilamana lama pengembalian pinjaman lebih dari akad, barang gadai nasabah dijual keapada masyarakat
Sewa modal dihitung dengan: Prosentase x Uang Pinjaman (UP)
Jasa simpanan dihitung dengan: Konstanta x Taksiran
Maksimal jangka waktu 4 bulan
Maksimal jangka waktu 3 bulan
Uang kelebihan (UK) = Hasil lelang – (uang pinjaman + sewa modal + biaya lelang)
Uang kelebihan (UK) = Hasil penjualan – (uang pinjaman + jasa penitipan + biaya penjualan)
Bila dalam satu tahun uang kelebihan tidak diambil, uang kelebihan tersebut menjadi milik pegadaian
Bila dalam satu tahun uang kelebihan tidak diambil, diserahkan kepada Lembaga ZIS
1 hari dihitung 15 hari
1 hari dihitung 5 hari
Mengenakan bunga (sewa modal) terhadap nasabah yang memperoleh pinjaman
Tidak mengenakan bunga pada nasabah yang mendapatkan pinjaman
Istilah-istilah yang digunakan:
·         Gadai
·         Pegadaian
·         Nasabah
·         Barang pinjaman
·         Pinjaman
Istilah-istilah yang digunakan:
·         Rahn
·         Murtahin
·         Rahin
·         Marhun
·         Marhun bih

K.       Kendala Pengembangan Pegadaian Syariah
Dalam realisasi terbentuknya pegadaian syariah dan praktek yang telah dijalankan bank yang menggunakan gadai syariah ternyata menghadapi kendala-kendala sebagai berikut:
1)             Pegadaian syariah relatif baru sebagai suatu sistem keuangan. Oleh karenanya, menjadi tantangn tersendiri bagi pegadaian syariah untuk mensosialisasikan syariahnya.
2)             Masyarakat kecil –masyarakat yang dominan menggunakan jasa pegadaian- kurang familiar dengan produk rahn di lembaga keuangan syariah. Apalagi sebagian besar yang berhubungan dengan pegadaian selama ini adalah rakyat kecil maka ketika ia dikenalkan bentuk pegadaian (rahn) oleh bank –apalagi dengan fasilitas bank yang mewah- timbul hambatan psikologi dari masyarakat dalam berhubungan dengan rahn.
3)             Kebijakan pemerintah tentang gadai syariah belum sepenuhnya akomodatif terhadapa keberadaan pegadaian syariah. Di samping itu, keberadaan pegadaian konvensional di bawah Departemen Keuangan mempersulit posisi pegadaian syariah bila berinisiatif utnuk independen dari pemerintah pada saat pendiriannya.
4)             Pegadaian kurang popular. Image yang selama ini muncul adalah bahwa orang yang berhubungan dengan pegadaian adalah mereka yang meminjam dana dengan jaminan suatu barang, sehingga terkesan miskin atau tidak mamapu secara ekonomi.

L.        Strategi Pengembangan Pegadaian Syariah
Adapun usaha-usaha yang perlu dilakukan untuk mengembangkan pegadaian syariah antara lain:
1)             Usaha untuk membentuk lembaga pegadaian syariah terus dilakukan sebagai usaha untuk mensosialisasikan praktek ekonomi syariah di masyarakat menengah ke bawah yang mengalami kesulitan dalam mendapatkan pendanaan.
2)             Masyarakat akan lebih memiilih pegadaian dibanding bank di saat mereka membutuhkan danan karena prosedur untuk mendapatkan dana relatif lebih mudah dibanding dnegan meminjam dana langsung ke bank. Maka cukup alasan bagi pegadaian syariah untuk eksis di tengah-tengah masyarkat yang membutuhkan bantuan.
3)             Pegadaian syariah bukan sebagai pesaing yang mengakibatkan kerugian bagi lembaga keuangan syariah lainnya, dan bukan menjadi alasan untuk menghambat berdirinya pegadaian syariah. Dengan keberadaan pegadaian syariah malah akan menambah pilihan bagi masyarakay untuk mendapatkan dana dengan mudah, selain itu hal itu akan meningkatkan tersosialisasikannya keberadaan lembaga keuangan syariah.
4)             Pemerintah perlu untuk mengakomodir keberadaan pegadaian syariah itu dengan membuat peraturan pemerintah (PP) atau undang-undang (UU) pegadaian syariah. Atau memberikan alternatif keberadaan biro pegadaian syariah dalam Perum Pegadaian Syariah.

KESIMPULAN

·           Gadai dalam fiqh disebut rahn, yang menurut bahasa adalah nama barang yang dijadikan sebagai jaminan kepercayaan. Sedangkan menurut syara’ artinya menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, tetapi dapat diambil kembali sebagai tebusan.
·           Pegadaian syari’ah adalah pegadaian yang dalam menjalankan operasionalnya berpegang kepada prinsip syari’ah.
·           Sebagaimana halnya institusi yang berlabel syariah, maka landasan konsep pegadaian Syariah juga mengacu kepada syariah Islam yang bersumber dari Al Quran dan Hadist Nabi SAW.
·           Dalam menjalankan pegadaian syariah, pegadaian harus memenuhi rukun gadai syariah, antara lain rahin, murtahin, rahn, marhun bih, sighat, ijab, dan qabul.
·           Berdasarkan tiga syarat di atas, maka dapat diambil alternatif dalam mekanisme perjanjian gadai, yaitu dengan menggunakan tiga akad perjanjian. Antara lain akad al-Qardul Hasan, al-Mudharabah, Bai’ al-Muqayadah.
·           Dalam mewujudkan sebuah pegadaian yang ideal dibutuhkan beberapa aspek, antara lain aspek legalitas, permodalan, sumber daya manusia, kelembagaan, sistem dan prosedur, dan pengawasan.
·           Prinsip utama barang yang digunakan untuk menjamin adalah barang yang dihasilkan dari sumber yang sesuai dengan syariah, atau keberadaan barang tersebut di tangan nasabah bukan karena hasil praktek riba, gharar, dan maysir.



DAFTAR PUSTAKA
Syafi’I Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Gema Insani Press: Jakarta.
Rivai, Veithzal, dkk. 2007. Bank and Financial Institution: Conventional and Sharia System. Rajawali Pers: Jakarta.
Sudarsono, Heri. 2003. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi Edisi 2. Ekonisia: Yogyakarta.

No comments: